Ihya'ul mawat ialah seorang muslim menempati tanah yang tidak ada pemiliknya seorang pun dan memakmurkannya dengan menanaminya dengan pohon, dan tanaman, atau mendirikan sebuah bangunan di atasnya atau menggali sebuah sumur di dalamnya, lalu tanah itu dikhususkan baginya dan menjadi miliknya.
Hukum Ihya'ul Mawat
Ihya'ul mawat hukumnya boleh, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
Barangsiapa yang menghidupkan (menggarap) tanah yang mati (tidak bertuan), maka tanah itu menjadi miliknya. (HR Ahmad dan At Tirmidzi)
1. Kepemilikan tanah yang tidak bertuan tidak serta merta menjadi milik orang yang menggarapnya, kecuali jika memenuhi dua persyaratan, yaitu:
Pertama, bahwa orang tersebut benar-benar menggarapnya dengan serius; yaitu dengan menanami pepohonan dan tanaman di atasnya atau mendirikan bangunan atau menggali sumur di tempat yang diperkirakan banyak mengandung airnya. Dengan demikian, yang dimaksud ihya'ul mawat itu tidak cukup hanya dengan menanami tanah itu dengan tanaman dan pohon; atau meletakkan tanda; atau menghalanginya dengan duri dan yang lainnya. Hanya saja dengan adanya tanda-tanda tersebut telah menempatkannya sebagai orang yang lebih berhak atas tanah tersebut daripada orang lain.
Kedua, tanah itu bukan dikhususkan bagi seseorang atau bukan milik siapapun. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah,
Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapapun, maka ia lebih berhak atas tanah tersebut. (HR Al Bukhari)
2. Jika tanah itu berdekatan dengan suatu perkampungan atau merupakan bagian dari wilayahnya, maka seseorang tidak diperbolehkan menggarapnya, kecuali atas izin penguasa daerah tersebut, karena mungkin terkait dengan kepentingan umum kaum muslimin, sehingga dengan mereka memiliki dan menggarapnya akan mendatangkan kesulitan bagi mereka.
3. Barang tambang yang ada di tanah yang tidak bertuan tidak dapat dimiliki oleh penggarapnya karena menggarapnya; baik barang tambang yang dimaksud itu berupa garam, minyak, atau barang tambang lainnya, karena hal itu berkaitan dengan kepentingan umum kaum muslimin. Hal itu berdasarkan keterangan di dalam sebuah riwayat, bahwa Rasulullah pernah memberikan tambang garam yang terdapat tanah yang tidak bertuan kepada penggarapnya, kemudian seorang sahabat mengusulkan supaya pemberian itu dikaji ulang, dan akhirnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menarik kembali pemberian tambang garam itu dari penerimanya (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi)
4. Jika seseorang mendapatkan air yang berlimpah pada tanah mati (tidak bertuan) yang digarapnya, maka ia lebih berhak atas air itu daripada orang yang selainnya, sehingga ia boleh mengambilnya paling dahulu menurut kebutuhannya sebelum siapapun. Sedang selebihnya diperuntukkan bagi kaum muslimin, berdasarkan sabda Rasulullah,
Manusia bersekutu dalam tiga perkara: air, rumput, dan api. (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Wallahu a'lam.
Diambil dari Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.