Senin, 13 Februari 2012

Meluruskan Definisi Tasyabbuh

Tasyabbuh secara bahasa berarti meniru, mencontoh, mengikuti. Dalam riwayat yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

Barangsiapa yang (sengaja) menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka. (HR Abu Dawud)

Hadits di atas bersifat umum, sehingga tidaklah semata-mata menunjukkan celaan, akan tetapi bisa juga menunjukkan pujian. Hal ini tergantung pada konteks perbuatannya. Jika yang ditiru adalah yang baik, maka itu tasyabbuh yang terpuji, dan sebaliknya jika meniru yang buruk, maka itulah yang tercela. Contohnya dalam Al Quran disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu menjadi orang bertaqwa. (QS Al Baqarah: 183).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa ramadhan termasuk tasyabbuh terhadap orang-orang terdahulu, agar kita bertakwa. Maka dalam konteks ini, tasyabbuh adalah suatu hal yang positif.
Termasuk tasyabbuh yang positif juga yaitu perkara yang mengharuskan kita meniru hal yang bermanfaat untuk syariat. Misalnya stempel untuk surat-surat Rasulullah kepada orang kafir karena itu merupakan budaya mereka, yang mana mereka hanya akan membaca sebuah surat kalau ada stempelnya. Begitu pula belajar bahasa asing, semisal bahasa Inggris untuk keperluan dakwah, sebagaimana Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Ibrani.

Sedangkan tasyabbuh yang buruk adalah tasyabbuh kepada sesuatu yang buruk atau tidak sesuai dengan fitrahnya. Contohnya adalah turun sujud menyerupai hewan, atau laki-laki yang menyerupai wanita dan sebaliknya. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang berperilaku layaknya wanita dan wanita yang berperilaku layaknya laki-laki. (HR Bukhari, Ahmad, dan lain-lain)

Contoh lain tasyabbuh yang haram adalah yang kebanyakan disinggung oleh para ulama, yaitu menyerupai orang kafir dalam perkara yang merupakan ciri khas mereka. Misalnya perayaan hari-hari raya selain yang dikenal Islam (Idul Adha dan Idul Fitri). Allah berfirman,

وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Dan janganlah mereka (kaum mukminin) seperti orang-orang telah diturunkan Al Kitab sebelumnya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Hadiid: 16)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas, “Karenanya, Allah telah melarang kaum mukminin untuk tasyabbuh kepada mereka dalam perkara apapun, baik yang sifatnya ushul (prinsip) maupun yang hanya merupakan furu’ (cabang)”. (4/323-324)

Perlu diingat bahwa tasyabbuh di sini mengandung arti sengaja meniru. Dalam hadits di atas, disebutkan kata  تَشَبَّهَ (tasyabbaha) dengan wazan تَفَعَّلَ (tafa”ala), yang mana dalam bahasa arab menunjukkan adanya kesengajaan. Sehingga walaupun kita mengenakan sesuatu yang mungkin sudah umum dipakai, semisal kaos bola, kalau niatnya meniru orang kafir maka ini terjatuh dalam definisi tasyabbuh yang tercela.

Adapun yang bukan ciri khas, yang kebetulan serupa atau umum ada di masyarakat, baik muslimin maupun orang kafir, maka tidak mengapa, misalnya memakai teknologi komputer, handphone, dan lain-lain. Atau seorang muslim dan rabbi Yahudi sama-sama berjenggot, hal ini tidak mengapa selama niat kita mengikuti Rasulullah, tidak ada niat menyerupai Yahudi atau orang kafir.

Akhir kata, hikmah dilarangnya tasyabbuh orang kafir adalah karena, kesengajaan meniru orang kafir itu menunjukkan bahwa mereka kita anggap lebih baik dan kekaguman kita pada mereka. Karena tidak mungkin kita sengaja meniru sesuatu kecuali sesuatu itu kita anggap baik, dan kita menyukai/mencintainya. Sedangkan kita dilarang ber-wala’ atau loyal ke mereka, sebagaimana firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَآءَكُم مِّنَ الْحَقِّ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kalian sayangi; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu.. (QS Al Mumtahanah: 1)

Wallahu a’lam.

Diselesaikan di Duri, 12 Februari 2012 oleh Ristiyan Ragil P.
Mengambil faidah dari ceramah Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA. -hafizhahullahu-

6 komentar:

  1. temen saya bilang tasyabbuh tuh cuma di ibadah dan perkara yg dikhususkan oleh nabi, sedang muamalah mah nggak, gimana itu?

    BalasHapus
  2. Perkataan tersebut tidak benar. Tasyabbuh berlaku secara umum, baik dalam hal ibadah, maupun mu'amalah. Sebagai contoh, Rasulullah menyuruh memelihara jenggot dan memotong kumis dalam rangka menyelisihi orang non muslim.

    BalasHapus
  3. nah,, yg kumis dan jenggot dia bilang termasuk perkara yg dikhususkan oleh nabi, itu gmn mas?

    BalasHapus
  4. Maksudnya dikhususkan oleh Nabi itu apa ya?

    BalasHapus
  5. maksudnya jadi emang disebutin khusus di hadits

    BalasHapus
  6. Para ulama tidak memahaminya seperti itu.

    BalasHapus

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.