Selasa, 31 Desember 2013

At Ta'aalum

Ta'aalum secara ringkas artinya sikap seorang yang tidak berilmu namun berlaku layaknya ahli ilmu. Sikap semacam ini tentu saja merupakan bencana baik bagi pelakunya maupun orang yang menjadi objek dari sikap sok tahunya itu. Imam Asy Syafi'i berkata dalam Ar Risalah:

فالواجب على العالمين أن لا يقولوا إلا من حيث علموا ، وقد تكلّم في العلم من لو أمسك عن بعض ما تكلّم فيه منه لكان الإمساك أولى به ، و أقرب إلى السلامة له إن شاء الله

"Wajib bagi setiap orang yang berilmu untuk tidak berkata kecuali seputar apa yang dia ilmui. Sungguh telah ada sebagian manusia yang membicarakan sebuah ilmu, yang seandainya ia menahan diri dari pembicaraan itu tentu lebih baik untuknya, dan lebih selamat baginya, insya Allah."

Sabtu, 14 Desember 2013

Sunnah-nya Para Pemberontak Khalifah 'Utsman

Sebagaimana diketahui, pemberontakan khalifah 'Utsman bin 'Affan -radhiyallahu 'anhu- bermula dari hasutan seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam bernama 'Abdullah bin Saba'. Ia menyebarkan banyak kebohongan atas nama 'Utsman kepada orang-orang arab badui yang umumnya lugu, membuat surat-surat palsu yang mengatasnamakan 'Aisyah, Az Zubair, Thalhah, 'Ali, dan lain-lain, yang semua isinya tentang pengingkaran atas 'Utsman dan mencela kebijakan pemerintahannya.

Beberapa isu yang diangkat serta tuduhan yang dialamatkan kepada 'Utsman, sebagiannya adalah dusta, semisal perintah untuk mengasingkan Abu Dzar, pemukulan atas Ibnu Mas'ud sampai ususnya sobek dan memukul 'Ammar bin Yasir sampai tulangnya patah. Tuduhan lainnya bukan dusta, tapi dibesar-besarkan, semisal nepotisme, kemudian pembakaran mushaf dan paksaan untuk merujuk pada satu mushaf saja, absen dari beberapa perang penting dan Bai'atur Ridhwan, menambah adzan jumat, tidak mengqashar shalat ketika safar, dan lain-lain.

Sabtu, 30 November 2013

Beberapa Sikap Khianat dalam Karya Tulis

Dalam menulis artikel atau karya ilmiah yang ditujukan untuk umat, diperlukan keikhlasan dan sikap inshaf (objektif) serta menjauhkan diri dari hawa nafsu dan upaya mencari pembenaran. Namun, seorang da’i atau juru dakwah hanyalah manusia biasa yang tidak maksum dari kekeliruan, atau bahkan tidak luput dari sikap khianat akibat fanatisme madzhab atau kelompok. Berikut beberapa contohnya:

1. Khianat dalam Penerjemahan


Kasus khianat dalam terjemahan ini banyak sekali, mungkin termasuk yang terbanyak di antara yang lain. Salah satu contohnya adalah ketika menerjemahkan kalimat Ibnu Hajar Al ‘Asqalani:
واما معاوية ومن بعده فكان أكثرهم على طريقة الملوك ولو سموا خلفاء 
"Adapun Mu'awiyah dan orang-orang sesudahnya kebanyakan berada pada thariqah para raja, sekalipun mereka disebut khalifah."
Ternyata ada yang menerjemahkan berbeda:
"Adapun Muawiyah dan orang-orang setelahnya sebagian besar mereka menggunakan metode kerajaan, sekalipun demikian mereka tetap disebut Khalifah."
Perhatikan kata yang dicetak tebal. Beda satu kata saja namun membuat kedua terjemahan di atas mempunyai sisi penekanan yang berkebalikan. Sehingga artinya pun akan berbeda dan menggiring kepada opini yang berbeda pula.

Kamis, 21 November 2013

Syaikh Al Albani: Tanyalah Sesuatu yang Bermanfaat, Jangan Tanya tentang Fulan dan Fulan..

Penanya:
Sudah menjadi praktek di antara para pemuda, mereka memperingatkan (tahdzir) dari kasetnya Fulan dan Fulan, dan ini menjadi kebiasaan kebanyakan dari mereka sampai-sampai mereka dikenal dengan orang-orang yang (suka mengatakan) "..dia pelaku bid'ah", "..dia sesat.."

Syaikh:
Laa haulaa wa laa quwwata illa billah..

Penanya:
Saya pernah ditanya seseorang pada suatu kesempatan, "Apa pendapatmu tentang Sayyid Quthb?", maka saya katakan "Aku mencintainya karena Allah, dia seorang muslim, dan aku membenci kesalahan yang ia lakukan. [Tapi] aku mencintainya sebagai seorang muslim secara umum, dan aku membenci kesalahan-kesalahannya.."

Syaikh:
Tepat.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Hasan tapi Dha’if

Barangkali demikianlah judul yang tepat untuk menggambarkan bahwa istilah "hasan" di kalangan ulama tidaklah selalu bermakna hadits maqbul yang derajatnya di bawah hadits shahih, sebagaimana definisi yang umum kita kenal dalam ilmu musthalah.

Orang yang pertama kali mengenalkan istilah tersebut, yaitu Imam At Tirmidzi, ternyata tidak memutlakkan istilah hasan sebagaimana pengertian di atas. Imam Ibnu Ash Shalah berkata:


وروينا عن أبي عيسى الترمذي رضي الله عنه أنه يريد بالحسن: أن لا يكون في إسناده من يتهم بالكذب، ولا يكون حديثأ شإذا، ويروى من غير وجه نحو ذلك.


"Diriwayatkan dari Abu 'Isa At Tirmidzi -radhiyallahu 'anhu- bahwa yang dimaksud dengan hasan adalah: Tidak terdapat dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta, dan bukan termasuk hadits yang syadz (ganjil), dan diriwayatkan juga dari jalan lain yang semisalnya." (Muqaddimah Ibnu Ash Shalah fi 'Ulumil Hadits)

Minggu, 29 September 2013

Bagaimana Seorang Muhaddits Menilai Riwayat

Secara umum,  langkah seorang muhaddits dalam menilai sebuah riwayat adalah sebagai berikut:

(1) Mengecek setiap perawinya.
Ini mencakup dua hal yang berurutan: jati diri perawi, kemudian kualitas perawi.

a. Jati diri perawi
Kadang ada beberapa perawi yang berbeda namun namanya sama, bahkan nama bapaknya juga sama. Misalnya Anas bin Malik, nama ini dimiliki oleh sepuluh orang. Ada pula yang sama sampai nama kakeknya, semisal Ahmad bin Ja'far bin Hamdan.

Lantas bagaimana menentukan rawi mana yang dimaksud dalam sebuah sanad, jika hanya disebutkan namanya saja? Inilah pentingnya mengetahui biografi setiap perawi, yang di dalamnya terdapat tahun kelahiran dan wafatnya, domisilinya, siapa saja gurunya, siapa saja muridnya, siapa nama kunyah-nya (Abu Fulan, Abu Allan, dsb), apa laqab/gelar-nya (Al Bukhari, As Sijistani, dll). Dari biografinya bisa kita ketahui rawi mana yang dimaksud dalam sanad tersebut, yaitu perawi yang mempunyai hubungan guru-murid atau yang memungkinkan untuk bertemu dalam sanad itu.

Sabtu, 28 September 2013

Beraninya Cuma di Tulisan?

Bukan hanya sekali saya temui, beberapa anggota sebuah harakah ketika ada fikrah/pemikiran organisasinya yang dikritik, mereka menyarankan untuk mengadakan diskusi langsung di dunia nyata saja daripada berbalas tulisan. Terlepas dari apapun tujuannya, saya pribadi tidak sepenuhnya sepakat. Ada beberapa alasan mengapa diskusi lewat tulisan lebih utama daripada diskusi tatap muka:

Pertama, debat secara langsung itu, selain membutuhkan ilmu di luar kepala, juga membutuhkan kepandaian berbicara. Sekalipun seseorang di atas kebenaran dan ilmu, namun jika ia kalah cakap dalam berdebat dengan lawannya, maka yang salah akan tampak benar, yang benar akan tampak salah.

Selasa, 18 Juni 2013

Sistem Kerajaan dalam Islam

Pembahasan ini diambil dari kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah, juz 35. Selamat menyimak.

Pelajaran dari Berakhirnya Khilafah dan Munculnya Kerajaan

Syaikhul Islam berkata (hal. 20) :
Telah kusebutkan di bagian lain bahwa jika kekuasaan jatuh ke tangan raja-raja dan para perangkat mereka sebagai hakim dan aparat pemerintahan, maka itu bukan saja karena ada yang salah dengan para pemimpin, tapi juga kekurangan yang ada pada rakyat yang mereka pimpin. Maka dari itu dikatakan: "Bagaimana keadaanmu, seperti itu pula pemimpinmu.". Dan sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا

"Dan demikianlah kami jadikan orang-orang zhalim itu pemimpin bagi sesamanya." (QS Al An'am 129).

Khilafah adalah Wajib

Syaikhul Islam berkata (hal. 22) :

Rabu, 12 Juni 2013

Tidak Setiap Hadits Lemah Terangkat dengan Banyaknya Jalan

Kami tulis risalah ini untuk mereka yang tidak faham tentang dasar-dasar ilmu hadits namun sudah berani menghasankan atau menshahihkan sebuah riwayat yang dha'if berat dengan alasan berbilangnya jalan periwayatan. Mereka menyangka bahwa dengan adanya riwayat sejenis yang menyertainya, itu akan menjadi penguat bagi hadits yang dha'if berat tadi. Sayangnya, mereka tidak mengetahui secara rinci seperti apa hadits lemah yang bisa naik derajatnya menjadi hasan. Kita akan bahas sebuah kaidah yang semoga menjadi pencerahan bagi kita semua.

Sesungguhnya para ulama telah bersepakat bahwa hadits dha'if yang bisa terangkat menjadi hasan adalah hadits yang perawi di dalamnya lemah dalam hafalan, namun jujur dalam perkataan dan amanah dalam penukilan. Dengan kata lain, terdapat kelemahan dari sisi kedhabitan namun kuat dari sisi keadilannya.

Minggu, 05 Mei 2013

Etika Berdiskusi di Dunia Maya

Saat ini dunia maya sudah mulai mendominasi kehidupan sebagian kaum muslimin baik dari sisi waktu yang tercurahkan, maupun dari sisi preferensi untuk berdialog. Diskusi lewat tulisan menjadi pilihan yang lebih disukai bagi sebagian kita, daripada diskusi lewat lisan. Dengan tulisan pula, orang bisa lebih mempersiapkan apa yang akan mereka katakan daripada berbicara langsung yang besar kemungkinan kadang salah ucap. 

Tentu saja diskusi yang baik adalah dalam rangka menambah ilmu dan mencari kebenaran. Karena pada masa sekarang, tidak sedikit pula diskusi yang isinya hanya perdebatan, saling ejek, dan hal sia-sia lainnya. Inilah yang akan kita jabarkan secara singkat, beberapa etika diskusi, sekaligus hal-hal yang harus kita hindari dalam diskusi.

Rabu, 03 April 2013

Sekelumit Kisah Mu'awiyah dan Raja Romawi

Di antara hal yang mengagumkan dari sahabat Mu'awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma adalah sikap beliau yang berani dan berwibawa di hadapan raja yang mempunyai kekuasaan besar tanpa ada rasa takut atau gentar. Justru sebaliknya, raja lain lah yang gentar terhadap beliau, sebagaimana dituliskan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir berikut:

Raja Romawi ingin mengambil alih sebagian wilayah yang telah dikuasai Mu'awiyah, setelah sebelumnya Mu'awiyah membuatnya ketakutan dan terhina, mengalahkan bala tentaranya dan mengusirnya. Pada saat pertikaian antara Mu’awiyah dan 'Ali radhiyallahu 'anhuma, dia mulai mendekati sebagian wilayah Mu'awiyah dengan harapan bisa menguasainya, maka Mu'awiyah menulis padanya:

Jika engkau tidak berhenti dan pulang ke kampung halamanmu wahai terlaknat, niscaya aku akan berdamai dengan sepupuku dan melawanmu, aku akan persempit bumi ini atasmu, sekalipun ia lapang.
Membaca surat tersebut, Raja Romawi ketakutan dan menghentikan langkahnya dan mengutus orang untuk melakukan perjanjian damai.

Sumber: Al Bidayah wan Nihayah 8/127, Syamilah.

Sabtu, 23 Maret 2013

Menegakkan Khilafah, dari Atas atau dari Bawah?

Beberapa waktu yang lalu saya menemukan secarik tulisan di sebuah page Facebook bertajuk "Al Khilafah". Tulisan tersebut berbunyi:

Ada lagi yang bilang, untuk mendirikan khilafah harus perbaiki individu-individu dulu menjadi individu islami, baru keluarga-keluarga islami terus masyarakat islami terus negara islami baru khilafah. Saya bilang, ide seperti ini batil dari 2 sisi. Pertama ide ini tidak ada faktanya, mana ada individu bisa semua diperbaiki? yang sudah ngaji puluhan tahun saja bisa futur. Tidak pernah ada perubahan sosial politik seperti ini terjadi di dunia. Kedua, ide ini bertentangan dengan sunnah Nabi saw, di Mekkah muslim masih minoritas tapi Nabi telah mendakwahi 14 qobilah agar mereka masuk Islam dan memberikan Nushroh kepada Beliau saw. akhirnya beliau bertemu dengan kaum anshor, jadi ide ini hanya ilusi atau halusinasi. [Ustadz Abu Zaid]

Benarkah demikian? Untuk mengetahui sejauh mana kebenaran pernyataan dalam kutipan di atas, terutama yang saya cetak tebal, langsung saja saya kutipkan sebuah riwayat dari Jabir –radhiyallahu 'anhu- :

Selasa, 05 Maret 2013

Nash dan Pendapat Ulama tentang Berakhirnya Khilafah

Khilafah Nubuwwah secara jelas diungkapkan oleh Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- berumur 30 tahun, setelah itu muncul masa kerajaan. Tapi sekelompok orang mencoba mentakwilnya sehingga menurut klaim mereka, khilafah runtuh pada 3 Maret 1924. Telah ada tulisan yang mengoreksi mereka dalam hal ini, namun yang tertulis di sini hanyalah sebagai pelengkap dari yang belum tercantum di tulisan itu, sebagiannya lagi mengulang dari apa yang sudah tertulis.

Berikut kami cantumkan beberapa perkataan ulama mengenai kekhilafahan 30 tahun.

  • Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa (4/478)
 واتفق العلماء على أن معاوية أفضل ملوك هذه الأمة، فإن الأربعة قبله كانوا خلفاء نبوة، وهو أول الملوك، كان ملكه ملكًا ورحمة.

Para ulama telah sepakat bahwa Mu'awiyah adalah raja paling utama umat ini. Sesungguhnya empat orang sebelumnya adalah para khalifah nubuwah, dan dia adalah raja pertama, dan kekuasaannya adalah berbentuk kerajaan dan penuh rahmat.