Selasa, 26 Juni 2012

Pengelolaan Pertambangan dalam Syariat Islam

Pemberian lokasi pertambangan yang didalamnya oleh Allah Taala telah sediakan barang-barang perhiasan, dibagi menjadi dua bagian: yang terlihat (zhahirah) dan yang terpendam (bathinah).

Lokasi pertambangan yang terlihat (zhahirah), seperti tambang celak, garam dan minyak*, itu semua seperti air, tidak boleh diberikan secara perorangan. Semua manusia mempunyai hak yang sama terhadapnya dengan mengambilnya ketika berada di lokasi pertambangan tersebut.
Tsabit bin Sa’id meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya bahwa Al Abyadh bin Hammal meminta Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberinya lokasi garam di Ma’rab, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikannya. Al Aqra’ bin Habis At Tamimi berkata,”Wahai Rasulullah sesungguhnya aku ke lokasi sumber garam tersebut pada masa jahiliyyah. Sumber itu terletak di daerah yang memiliki sumber garam itu saja. Siapa datang ke lokasi garam tersebut maka dia bisa mengambil garamnya. Garam tersebut seperti air yang mengalir terus menerus (al-maa-ul ‘idd)”. Setelah itu, beliau meminta Al Abyadh untuk menyerahkan kembali pemberian sumber garam itu. Al Abyadh berkata,”Aku telah serahkan sumber garam itu kepadamu dengan syarat agar engkau jadikan sumber garam itu sebagai shadaqah dariku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ia menjadi shadaqah darimu, dan ia seperti air ‘idd. Siapa saja yang mendatanginya, boleh mengambilnya.” (Diriwayatkan Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya).

Abu ‘Ubaid berkata, “Al maa-ul ‘idd maksudnya adalah air yang mempunyai sumber seperti mata air atau sumur.” Sedangkan yang lain mengatakan, “Al maa-ul ‘idd adalah air yang yang terkumpul dan mengalir.”
Jika lokasi pertambangan yang terlihat tersebut diberikan kepada seseorang, maka pemberian tersebut tidak mempunyai hukum, dan orang yang menerima pemberian lokasi pertambangan mempunyai hak yang sama dengan orang lain yang datang ke lokasi tersebut. Jika penerima lokasi menghalang-halangi orang lain untuk mengambil barang tambang, maka ia telah berbuat zhalim, namun apa yang telah diambilnya itu menjadi miliknya, karena kezhalimannya adalah melarang orang mengambil, bukan karena mengambil tambang tersebut. Ia dilarang menghalangi orang lain untuk mengambil manfaat dari tambang tersebut, dan dilarang bekerja terus-menerus di lokasi tersebut, agar tidak menjadikan pemberian yang sah atau menjadi milik pribadinya.

Adapun pemberian lokasi pertambangan yang terpendam (bathinah) adalah lokasi pertambangan yang menyimpan kekayaan dan tidak bisa diambil kecuali dengan kerja keras, seperti emas, perak, kuningan, dan besi. Itu semua termasuk hasil pertambangan yang tidak terlihat (bathinah), baik yang tambangnya butuh pemurnian ataupun tidak. Terdapat dua pendapat tentang kebolehan pemberian barang tambang jenis ini, yaitu:
Pertama tidak boleh, karena semua orang mempunyai hak yang sama.
Kedua boleh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Katsir bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Auf Al-Muzani dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi Bilal bin Al Harits tambang Al Qabaliyyah; baik tambang di Al Jalsiyyu atau tambang di Al Ghauriyyu, serta daerah di gunung Quds yang bisa ditanami. Beliau tidak memberikan tanah tersebut sebagai hak seorang muslim. (Diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad).

Ada dua penakwilan terhadap kata Al Jalsiyyu dan Al Ghauriyyu pada hadits di atas:
1. Al Jalsiyyu adalah tanah dataran tinggi, sedang Al Ghauriyyu adalah tanah dataran rendah. Ini perkataan Abdullah bin Wahb.
2. Al Jalsiyyu adalah daerah di Nejd, sedangkan Al Ghauriyyu adalah daerah di Tihamah. Ini perkataan Abu Ubaidah.

Menurut pendapat kedua, orang yang diberi lokasi pertambangan lebih berhak atas lokasi tersebut dan berhak melarang orang yang mengambil sesuatu di lokasi pertambangan itu. Terhadap masalah ini terdapat dua pendapat yaitu:

Pertama, pemberian lokasi pertambangan tersebut dengan status hak milik, kemudian lokasi pertambangan tersebut menjadi hak miliknya seperti kekayaannya yang lain. Pada saat ia mengelolanya dan sesuadha lokasi pertambangan diberikan kepadanya, ia boleh menjualnya jika ia masih hidup, dan berpindah tangan kepada ahli warisnya setelah kematiannya.

Kedua, pemberian lokasi pertambangan tersebut dengan status hak pakai, dan ia tidak menjadi pemilik lokasi tersebut. Ia mendapatkan hak pakai atas lokasi pertambangan tersebut atas kerjanya selama ia berada di lokasi pertambangan. Siapapun tidak dibenarkan mengambil alih lokasi pertambangan tersebut selama ia masih berada di lokasi tersebut untuk bekerja mengambil hasil tambang. Jika ia meninggalkan lokasi pertambangan tersebut, hilangnya status hak pakainya, dan lokasi tersebut kembali menjadi milik umum.

Jika seseorang dalam menghidupkan tanah yang mati, baik atas pemberian imam maupun tidak, kemudian ia menemukan barang tambang baik yang terlihat maupun yang terpendam, maka hasil tambang tersebut menjadi hak milik orang yang menghidupkan lahan mati tersebut selamanya, sebagaimana ia berhak memiliki mata air dan sumur yang ia gali.

Diambil dari Al Ahkaam As Sulthaaniyyah, karya Imam Al Mawardi.

——————————————————————–
* Pada zaman dahulu sebelum ditemukannya teknologi pemboran, minyak bumi ditemukan langsung di permukaan (oil seepage).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.