Rabu, 15 Agustus 2012

Hukum Terhadap Pemberontak dalam Islam

Pemberontak, atau disebut dengan ahlul baghyi ialah sekelompok orang yang memiliki suatu kekuasaan dan kekuatan yang bermaksud memisahkan diri dari penguasa yang sah karena alasan-alasan yang cukup rasional, misalnya mereka mengira penguasa mereka adalah orang kafir, atau mengiranya telah berbuat curang dan zhalim, kemudian mereka membentuk sebuah kelompok yang menolak tunduk kepada penguasa yang sah dan bermaksud memisahkan diri darinya.

Adapun ketentuan hukum yang berkenaan dengan ahlul baghyi adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya penguasa mengirim surat kepada mereka, berkomunikasi dengan mereka dan mengajak mereka berdialog dengan menanyakan alasan mereka membenci dirinya sehingga bermaksud memisahkan diri darinya. Jika mereka menyebutkan adanya perlakuaan zhalim terhadap diri mereka dan orang-orang selain mereka, maka penguasa harus menghentikan kezhalimannya tersebut. Jika mereka menyebutkan salah satu keraguan, maka penguasa harus menghilangkannya dengan cara menjelaskannya secara benar dan menyebutkan dalilnya kepada mereka. Jika mereka kembali pada kebenaran, maka mereka harus diterima kembali. Jika mereka menolak kembali pada kebenaran, maka memerangi mereka merupakan suatu kemestian bagi segenap kaum Muslimin, berdasarkan firman Allah 'Azza wa Jalla:

فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُواْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [QS Al Hujurat: 9]

2. Tidak boleh memerangi mereka dengan menggunakan peralatan perang yang bisa menghancurkannya, misalnya dengan menggunakan pesawat tempur, atau meriam penghancur, tetapi cukup diperangi dengan peperangan yang mematahkan kekuatan mereka dan memaksa mereka menyerahkan diri.

3. Anak-anak serta kaum perempuan mereka tidak boleh dibunuh dan harta mereka tidak boleh dirampas.

4. Ahlul baghyi yang terluka tidak boleh dibunuh, siapa saja di antara mereka yang tertawan, maka tidak boleh dibunuh; dan siapa saja di antara mereka yang mundur serta melarikan diri dari medan perang, maka tidak boleh dibunuh, berdasarkan pernyataan 'Ali radhiyallahu 'anhu ketika perang Jamal, "Orang yang mundur dari medan perang tidak boleh dibunuh, orang yang terluka tidak boleh dibunuh, dan orang yang menutup pintunya, niscaya ia aman[Riwayat Ibnu Abi Syaibah]

5. Jika perang telah selesai dan pihak ahlul baghyi mengalami kekalahan, maka mereka tidak boleh diqishash dan tidak boleh dituntut apa-apa selain menyuruh mereka supaya bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, berdasarkan firman Allah 'Azza wa Jalla:

فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُواْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [QS Al Hujurat: 9]

Catatan:
 Jika dua kelompok dari kalangan kaum muslimin terlibat peperangan di antara mereka karena fanatik golongan, harta, atau jabatan tanpa alasan yang dibenarkan oleh agama, maka keduanya dianggap telah melakukan kezhaliman dan masing-masing dari keduanya wajib menggangi kerusakan yang telah diperbuatnya; baik jiwa maupun harta kelompok yang satunya.

disarikan dari Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakr Al Jazairi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.