Jumat, 21 September 2012

Lebaran Ikut Rukyat Internasional?

Di antara kelompok dalam umat Islam ada yang menganggap tidak adanya ikhtilaf mathali’ atau perbedaan mathla’ (tempat terbitnya bulan) antara wilayah-wilayah Islam, maka dari itu mereka berpendapat bahwa ramadhan dan hari raya ditentukan bukan dengan rukyat negeri masing-masing tapi dengan rukyat internasional.

Pandangan Fiqih
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa, landasan ulama yang berpendapat adanya perbedaan mathla’ adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Kuraib bahwa sesungguhnya Ummu Fadhl binti Al-Harits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib “Lalu aku datang ke Syam, kemudian aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadhan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadhan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku, kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya, “Kapan kamu melihat hilal (Ramadhan)? Jawabku, “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Ia bertanya lagi, “Engkau melihatnya?” Jawabku, “Ya, dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah puasa”.Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (Syawal)”. Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru’yat dan puasanya Mu’awiyah? Jawab beliau, “Tidak, Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami“.

Imam Asy Syaukani dalam kitab beliau, Nailul Authar, berpendapat bahwa perkataan Ibnu ‘Abbas di atas adalah ijtihad beliau sebagai sahabat Nabi, bukan marfu’ (bersambung dan disandarkan) ke Rasulullah. Sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Namun yang benar, insya Allah, perkataan Ibnu ‘Abbas itu marfu’ ke Rasulullah. Dalam kitabnya yang lain, Irsyadul Fuhul, Imam Asy Syaukani menyebutkan kaidah bahwa setiap perkataan sahabat yang lafazhnya seperti di atas “Begitulah Rasulullah memerintahkan kami”, itu adalah marfu’ ke Rasulullah dan menjadi hujjah.

Pandangan dari Sisi Geografi dan Astronomi

Masyarakat internasional telah berkonsensus untuk menetapkan pergantian hari pada garis IDL (International Date Line), yaitu di daerah pertengahan Samudera Pasifik. Dari sana, hari (pukul 00:00) dimulai dari arah timur sesuai arah terbit matahari menuju barat, sampai kepada garis tersebut, lalu berganti hari berikutnya. Ini adalah konsensus internasional, namun bukan konsensus dalam Islam. Adapun dalam kalender hijriyah yang digunakan umat Islam, hari dimulai dari terbenamnya matahari, bukan dari tengah malam. Dalam Islam juga, setahu saya, tidak dikenal adanya garis baku pergantian tanggal.

Berbicara mengenai terbitnya hilal (bulan sabit), maka berbeda dengan matahari, ia terbit dari barat. Jadi sederhananya, jika timur sudah melihat hilal, maka otomatis barat seharusnya sudah bisa melihat juga ketika matahari terbenam. Sebagai contoh, jika Indonesia sudah terlihat, maka secara teori, jika kondisi cuaca bagus, Arab Saudi mestinya juga sudah bisa melihat hilal dengan ketinggian derajat lebih tinggi dari Indonesia, dan lebih jelas terlihat. Dan tidak berlaku sebaliknya. Melihat kenyataan ini, maka sebenarnya beda waktu antara Indonesia dan Saudi dalam melihat hilal, bukan 4 jam, melainkan (24 – 4) jam atau 20 jam. Jika berbicara konteks pergerakan semu matahari, maka memang benar jika Indonesia 4 jam lebih dulu dari Arab Saudi. Namun jika berbicara hilal, maka sebenarnya Arab Saudi lebih dulu 20 jam daripada Indonesia, karena visibilitas (penampakan) hilal ‘berjalan’ ke arah barat. Untuk lebih mudahnya, mari kita lihat gambar berikut:


Gambar di atas diambil dari contoh hilal bulan Ramadhan tahun ini, dua tanggal yang dipisahkan oleh UTC (garis batas waktu internasional) digabung menjadi satu. Perhatikan bahwa pada tanggal 19 Juli 2012 di Brazil, hilal sudah memungkinkan untuk dilihat pada waktu maghrib, sedangkan Indonesia belum bisa melihat walaupun sudah wujudul hilal. Bahkan terlihat juga pada gambar bahwa Jepang mustahil melihat hilal pada tanggal tersebut karena bulan terbenam terlebih dahulu sebelum matahari. Dari gambar di atas pula dapat dipahami bahwa walaupun selisih hanya beberapa derajat, bisa jadi suatu daerah bisa melihat hilal dengan mata biasa, daerah lain belum bisa melihat. Fakta ini mendukung adanya ikhtilaf mathali’.

Nah, dengan berpatokan pada penanggalan internasional seperti di atas, akan sulit diterima akal jika atas nama rukyat global, kita memaksakan puasa Ramadhan di Jepang pada subuh tanggal 20 Juli 2012, sebab pada maghrib tanggal 19 Juli 2012, di sana secara wujudul hilal saja belum masuk bulan baru, apalagi secara rukyat. Selain itu juga, misalnya Indonesia belum melihat hilal lalu ikut rukyat Arab Saudi, maka jatuhnya sebenarnya akan berbeda tanggal internasional juga. Jika Saudi terlihat hilal pada Senin maghrib, maka maka Indonesia 20 jam kemudian baru menjumpai awal bulan, yang mana sudah menabrak batas tanggal internasional di Samudera Pasifik. Akibatnya, Indonesia baru memasuki awal bulan pada Selasa maghrib. Ujung-ujungnya, Saudi berpuasa mulai hari Selasa, dan Indonesia karena sudah melewat tanggal internasional yang baru, berpuasa hari Rabu. Terminologi Senin-Selasa-Rabu di sini adalah berpatokan pada International Date Line (yang kalau IDL-nya bukan di Samudera Pasifik tapi di India antara Indonesia dan Saudi, ceritanya akan lain lagi karena hilal ‘bergerak’ dari Saudi ke Indonesia tanpa menabrak IDL).

Oleh sebab itu, saya cenderung memilih pendapat yang mengatakan, tiap negeri melakukan rukyat hilalnya di negerinya masing-masing, kemudian rakyatnya mengikuti keputusan penguasa tiap negeri tersebut. Bagi kaum muslimin yang tinggal di negeri kafir, maka ia berpuasa dengan melihat hilal sendiri, jika tidak bisa maka puasa sesuai dengan negeri Islam yang paling dekat dengannya (atau yang satu mathla’).

Bagaimanapun juga, Rasulullah menyuruh untuk berpuasa dan berbuka bersama-sama, itu berlaku bagi suatu negeri yang bersatu di dalamnya kaum muslimin, atau dalam istilah sebagian ulama disebut sebagai konsep wilayatul hukmi, yaitu satu kesatuan wilayah hukum. Seperti halnya Syam dan Madinah dalam hadits yang dinukil di atas. Masing-masing mempunyai pemimpin sendiri dan tidak tergantung pada Imam a’zham (khalifah), karena semenjak pertengahan daulah ‘Abbasiyah, kaum muslimin telah terpisah oleh beberapa negeri yang berbeda wilayah dan kepemimpinan.

Selain itu juga, kebersamaan dalam berpuasa dan berhari raya, tidaklah didapatkan kecuali dengan keputusan penguasa. Sehingga apa yang menjadi tujuan rukyat internasional untuk bersama-sama dalam puasa dan hari raya, tidak bisa tercapai secara hakiki sebab belum ada khalifah sedunia yang memutuskan hari raya untuk kaum muslimin secara global. Hanya berpatokan dengan klaim hilal di suatu negeri lain melalui media tertentu (televisi, internet), seseorang (sendirian) memutuskan untuk berpuasa, padahal negeri tempat dia tinggal, kaum muslimin belum mulai berpuasa karena belum terlihat hilal dan belum diputuskan penguasa. Ini menjadikan perintah Rasulullah untuk puasa dan berhari raya bersama malah tidak terpenuhi, yang terjadi malah perbedaan dan perpecahan.

Oleh karena itu menurut hemat saya, alangkah tepat apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa kaum muslimin selayaknya mengikuti pemerintah mereka dalam berpuasa dan berhari raya, sekalipun pemerintah salah dalam cara menentukannya, seperti menyandarkan pada perkataan ahli nujum yang menyatakan hilal tidak dapat dilihat, atau menolak persaksian hilal orang yang adil. Jika mereka salah maka dosa untuk mereka, bukan untuk kita sebagai rakyat yang taat pada pemimpin. Apalagi di negeri kita, pemerintah telah menggunakan rukyat yang merupakan cara syar’i untuk menentukan awal bulan, maka tidak ada alasan kita untuk menolak keputusan pemerintah.

Tulisan ini hanyalah pendapat dari seorang penuntut ilmu yang amat awam terhadap agama dan ilmu astronomi. Tujuan saya di sini adalah untuk membuka diskusi dan masukan dari yang lebih ahli . Oleh karena itu tulisan ini lebih tepat saya posisikan sebagai bentuk pertanyaan, apakah yang saya tulis di atas ada yang perlu dikoreksi, dan kalau ada, bagian mana dan seperti apa? Mohon masukannya, terima kasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.