Kamis, 27 Februari 2014

Cukupkah Penghukuman Hadits oleh Ulama Terdahulu?

Fadhilatusy Syaikh Al Albani -rahimahullah- ditanya:
Apakah cukup bagi seorang penuntut ilmu, penghukuman hadits sebagai shahih atau dha'if oleh para hafizh hadits terdahulu? Misalnya dengan membaca karya Al Hafizh Al 'Iraqi dalam kitab Takhrij beliau, lalu dikatakan oleh Al 'Iraqi bahwa hadits ini shahih. Maka apakah boleh bagi penuntut ilmu tersebut untuk mencukupkan diri dengannya? Dan semisal Al 'Iraqi seperti Imam Ahmad dan selainnya?

Jawab beliau:
Masalah ini serupa dengan taqlid dalam fiqih. Maka, cukup bagi seorang penuntut ilmu untuk mendengarkan pendapat dari Imam yang diikuti - Aku tidak mengatakan terbatas di antara imam yang empat saja . Mereka adalah orang yang lebih banyak dikaruniai keutamaan oleh Allah 'azza wa jalla -, dan beramal dengannya. Kita katakan: Tidaklah mungkin bagi setiap penuntut ilmu untuk berada dalam satu level penguasaan dalam mengenali kebenaran dari apa yang diperselisihkan manusia. Maka cukuplah bagi penuntut ilmu untuk merealisasikan ayat yang mulia: 

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

"Maka bertanyalah pada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui." [QS An Nahl:43]
Maka jika ada ahli ilmu yang masih hidup, ia bertanya pada mereka dan mengambil jawaban dari mereka. Atau jika tidak ada seorang 'alim yang masih hidup yang bisa ditanya, kemudian ia tahu bahwa telah ada ulama terdahulu yang berpendapat demikian dan demikian, maka ia mengikutinya. Dan selamat dari pertanggung-jawaban. Walaupun pada kenyataannya, pendapat tersebut sebenarnya salah. (Itu tidak mengapa) Sebab, ia berangkat dari konsekuensi ayat Al Quran di atas.

Meskipun demikian, ia tidak lepas dari persyaratan. Salah satunya, bahwa ia tidak tahu pendapat tersebut mengandung kesalahan.

Dan pengetahuan semacam itu diketahui dengan penelitian olehnya, jika ia telah mempunyai persiapan. Atau dengan petunjuk dari ulama lain yang dipercaya dan dengan ilmunya. Maka yang jelas, seorang penuntut ilmu boleh taqlid pada ulama jika [1] memang tidak tampak baginya ada kesalahan dalam pendapat ulama itu, dan [2] tidak mampu juga untuk mengetahui/menentukan apakah pendapat itu benar atau salah.

Demikianlah jawabannya. Ketika ia mendapatkan seorang imam di antara para imam kaum muslimin atau hafizh di antara para huffazh menshahihkan sebuah hadits atau mendha'ifkan yang lainnya, maka cukup baginya untuk mengikuti mereka yang menghukumi hadits itu. Namun tetap dengan dua syarat sebagaimana dalam permasalahan fiqih. (Sebagaimana telah disebut oleh Syaikh di atas. -pent).


* Diterjemahkan dari ceramah beliau Silsilatul Huda wan Nuur no. kaset 189. Belum secara lengkap karena cukup panjang, semoga suatu saat bisa dilanjutkan. Akan tapi secara inti telah mencukupi, wallahu a'lam.


Diselesaikan 27 Februari 2014
Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru.

Ristiyan Ragil P

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.