Senin, 29 Oktober 2012

Memahami Sebab Perbedaan di Antara 'Ulama

Perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa di kalangan para ulama sejak zaman sahabat -radhiyallahu 'anhum- sampai sekarang. Dalam menyikapi perbedaan tersebut, diperlukan sikap yang tepat, baik dalam memilih pendapat maupun dalam bersikap ke orang lain yang  berbeda pendapat. Berikut kami sajikan beberapa sebab terjadinya ikhtilaf di antara ulama, sehingga diharapkan setelah mengetahuinya, kita bisa bersikap 'arif, yaitu sikap pertengahan di antara terlalu gampang mengklaim bahwa pendapatnya adalah satu-satunya pendapat yang mewakilli Islam, dan sebaliknya, terlalu bermudah-mudahan mengatakan suatu perkara sebagai perkara ikhtilaf yang kita boleh memilih mana yang disuka tanpa tahu duduk perkaranya. Di antara sebab ikhtilaf di antara para ulama:

1. Perbedaan dalam Penguasaan Dalil
Penguasaan dalil di sini maksudnya adalah, kadang satu ulama telah mengetahui suatu dalil, namun ulama lain belum mengetahui. Contoh: sahabat Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu 'anhuma- telah sekian lama perpendapat bahwa riba itu hanya pada riba nasiah (hutang piutang) saja, tidak ada riba yang lain. Sampai suatu ketika datang kepada beliau sahabat senior Abu Sa’id Al Khudry -radhiyallahu 'anhu- yang menyampaikan hadits:

لا تبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا الورق الورق بالورق إلا مثلا بمثل ولا تشفوا بعضها على بعض ولا تبيعوا منها غائبا بناجز

Janganlah engkau menukar emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menukar perak dengan perak malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Sejak saat itu Ibnu ‘Abbas rujuk dari pendapat beliau yang lama. Dari kisah ini dapat kita ambil faidah bahwa ketika datang sebuah dalil dari sunnah, tidak layak kita memegang pendapat yang lama yang bertentangan dengan sunnah tersebut, dan tidak layak pula kita mengikuti pendapat Ibnu ‘Abbas yang lama karena beliau mengatakan itu disebabkan belum sampai dalil pada beliau.

2. Perbedaan Jalur Sanad dan Penshahihan Hadits
Zaman dahulu, Imam Syafi’i –rahimahullah- meriwayatkan hadits dari seseorang yang beliau anggap terpercaya. Ternyata setelah diteliti oleh para Imam setelah beliau, perawi tersebut seorang yang dha’if/lemah. Atau kadang seorang ulama menshahihkan suatu hadits tanpa melihat bahwa perawi hadits tersebut ternyata menyelisihi riwayat yang perawinya lebih tsiqah/terpercaya darinya, atau disebut juga dengan syadz (ganjil) dalam ilmu hadits. Atau mendha'ifkan suatu hadits tanpa melihat hadits lain sebagai penguatnya, dan sebagainya. Sehingga perkara penshahihan atau pelemahan suatu hadits pada dasarnya merupakan perkara ijtihadiyah, selama memang mengikuti kaidah-kaidah baku dalam ilmu hadits. Adapun kadang, ada ulama yang bukan bidangnya dalam ilmu hadits, bisa keliru dalam melemahkan hadits yang telah disepakati shahihnya oleh banyak ulama, seperti Imam Ibnu Hazm –rahimahullah- yang melemahkan hadits dalam Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar di zamannya, namun bukan spesialis hadits. Setiap ulama ada spesialisisasinya, dan hadits bukan spesialisasi beliau.

3. Perbedaan Sumber Dalil
Ulama telah bersepakat mengambil dalil dari 4 sumber, yaitu Al Quran, Al Hadits, Ijma', dan Qiyas. Adapun sumber hukum di luar itu, maka diperselisihkan di antara mereka. Misalnya Imam Malik bin Anas –rahimahullah-, salah seorang imam empat madzhab, menjadikan amalan penduduk Madinah sebagai dalil. Alasannya karena Madinah itu tempat domisili mayoritas putra-putri sahabat Rasulullah yang tentunya paling mengerti tentang agama. Bahkan ada suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh beliau sendiri dalam kitab Al-Muwaththa' beliau, namun tidak diamalkan karena bertentangan dengan amalan penduduk Madinah, yaitu hadits yang sanadnya dikenal sebagai Silsilah Adz Dzahabiyah (rantai emas) karena perawinya semuanya ulama besar, yaitu:

عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.

قَالَ مَالِكٌ : وَلَيْسَ لِهَذَا عِنْدَنَا حَدٌّ مَعْرُوفٌ ، وَلاَ أَمْرٌ مَعْمُولٌ بِهِ فِيهِ

Dari Nafi' (murid Ibnu 'Umar, guru dari Imam Malik), dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa Rasulullah bersabda:  Dua orang yang berjual beli, setiap salah satunya berhak untuk khiyar (memilih apakah meneruskan atau membatalkan jual beli), selama belum berpisah, kecuali jual beli khiyar.
Imam Malik berkata: "Tidak ada batasan tertentu yang ma'ruuf di sisi kami (penduduk Madinah), dan perkara yang diamalkan padanya."

4. Perbedaan Pemahaman atas Suatu Dalil.
Untuk poin ini, diperlukan kelapangan dada dan jiwa yang besar, untuk bisa bertoleransi menerima pendapat orang yang berbeda pendapat/madzhab karena berbeda dalam memahami satu dalil yang sama. Banyak sekali contoh untuk hal ini, semisal dalam memahami Al Quran surat An Nisa 43 yang dianggap sebagai dalil batalnya wudhu seseorang jika menyentuh wanita. Perbedaannya terletak pada kata "menyentuh" di situ, merupakan makna hakiki atau makna majazi, yakni, maksud menyentuh di situ adalah jima'/hubungan suami-istri, karena dalam Al Quran kadang disebutkan kalimat majaz dalam rangka memperhalus ungkapan. Ulama yang berpendapat bahwa itu makna hakiki, maka menyentuh wanita membatalkan wudhu, dan ulama yang berpendapat itu makna majazi, maka menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu, melainkan dengan jima'.

5. Faktor Lupa
Pada suatu riwayat dalam Shahih Bukhari diceritakan bahwa 'Umar bin Khaththab -radhiyallahu 'anhu- berpendapat, ketika seseorang junub dan tidak mendapatkan air, maka dia tidak boleh shalat sampai mendapatkan air. Sahabat 'Ammar bin Yasir -radhiyallahu 'anhuma- mengingatkan beliau bahwasanya mereka berdua pernah mengalami keadaan safar dan ketika itu 'Ammar berguling-guling di tanah sebagai bentuk tayammum, lalu kemudian ia bertanya kepada Rasulullah dan dijawab oleh Nabi, cukup dengan tayammum seperti biasa. Namun 'Umar benar-benar lupa sehingga pada akhirnya 'Umar mempersilakan 'Ammar untuk berpegang pada pendapatnya sendiri.

Selain kisah sahabat di atas, ada juga beberapa cerita ulama yang telah menyampaikan suatu hadits kepada muridnya, namun ia sendiri lupa pernah menyampaikan itu. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat antara guru dan murid. Beberapa kisah mengenai hal ini dapat dilihat di kitab Imam As Suyuthi "Tadzkirah al Mu-tasi Min Hadits Man haddatsa wa Nasiy". 

Demikian kami cantumkan lima sebab dari sekian sebab perbedaan pendapat di antara ulama salaf, sekedar untuk mengingatkan bahwa kita masih harus menuntut ilmu lebih banyak lagi, terus dan terus, supaya kita bisa saling memahami perbedaan di antara kaum muslimin. Qatadah -rahimahullah- berkata, "Seseorang yang belum mengetahui perbedaan di antara ulama, maka belum mencium bau fiqih". Tahu saja tidak cukup, namun juga harus paham. Kalau cuma tahu bahwa suatu perkara merupakan perkara yang diikhtilafkan, namun tidak memahami dalil dan pemahaman masing-masing, bagaimana bisa memilih salah satu pendapat? Tentu bukan asal pilih yang paling menyenangkan diri kita, tapi yang paling kuat hujjah/alasannya. Bukan asal tiap ada ikhtilaf ulama antara halal dan haram, lalu kita asal pilih yang halal saja biar enak, atau asal pilih yang haram saja untuk kehati-hatian. Bukan seperti itu yang diharapkan. Kalau memang setelah ditelaah, kita cenderung pada pendapat yang menghalalkan, ya tidak mengapa. Begitu pula sebaliknya.

Semoga bermanfaat. Mohon dikoreksi dan ditambahkan jika ada yang salah atau terlewat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.