Sabtu, 08 Desember 2012

Takhrij Kisah: "Semua Orang Lebih Pintar dari 'Umar"

Alhamdulilah, semoga shalawat dan salam selalu tercurah pada Rasulullah, berikut keluarga beliau, sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti beliau sampai hari kiamat.

Ada sekelompok orang yang berhujjah bolehnya memprotes pemimpin secara terbuka dengan sebuah kisah protesnya seorang wanita kepada 'Umar dalam kasus pembatasan mahar. Dengan kisah itu pula, orang-orang yang membenci 'Umar dari kalangan Syi'ah Rafidhah memanfaatkannya untuk menambah daftar barang bukti untuk mencela beliau dengan julukan bodoh dan tolol! Na'udzubillah, semoga Allah memburukkan keadaan para pencela beliau.

Berikut kisah yang dimaksud:
ركب عمر بن الخطاب منبر رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال : أيها الناس ما إكثاركم في صداق النساء وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه وإنما الصَّدُقات فيما بينهم أربع مائة درهم فما دون ذلك ، ولو كان الإكثار في ذلك تقوى عند الله أو كرامة لم تسبقوهم إليها فلا أعرفنَّ ما زاد رجل في صداق امرأة على أربع مئة درهم ، قال : ثم نزل فاعترضته امرأة من قريش فقالت : يا أمير المؤمنين نهيتَ النَّاس أن يزيدوا في مهر النساء على أربع مائة درهم ؟ قال : نعم ، فقالت : أما سمعت ما أنزل الله في القرآن ؟ قال : وأي ذلك ؟ فقالت : أما سمعت الله يقول { وآتيتُم إحداهنَّ قنطاراً } الآية ؟ قال : فقال : اللهمَّ غفراً ، كل النَّاس أفقه من عمر ، ثم رجع فركب المنبر ، فقال : أيها الناس إني كنت نهيتكم أن تزيدوا النساء في صدقاتهن على أربع مائة درهم ، فمن شاء أن يعطى من ماله ما أحب . قال أبو يعلى : وأظنه قال : فمن طابت نفسه فليفعل

Suatu ketika, Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu berdiri di atas mimbar, kemudian berkata: "Wahai manusia, mengapa kamu mempermahal mahar wanita. Padahal dahulu Rasulullah dan para shahabat, mahar mereka hanya 400 dirham dan kurang dari itu. Jika mempermahalnya adalah tanda ketaqwaan kepada Allah atau sebuah kemuliaan, tentulah kalian tidak akan mampu mendahului mereka dalam perkara tersebut. Jangan sampai aku tahu ada orang yang meninggikan mahar lebih dari 400 dirham". Kemudian beliau turun, namun seorang wanita dari Quraisy memprotesnyal dan berkata: "Wahai Amirul Mukminin, engkau melarang manusia menetapkan mahar untuk wanita melebihi 400 dirham?" Umar menjawab: "Ya". Wanita itu berkata, "Tidakkah engkau dengar firman Allah: 

وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“ …. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” [QS. An Nisa: 20]

Umar menjawab; "Ya Allah ampunilah, semua orang lebih pintar dari 'Umar."  Kemudian beliau naik ke mimbar dan berkata, "Dulu aku melarang kalian untuk membayar mahar wanita melebihi 400 dirham, maka sekarang, siapa yang mau, silakan memberikani hartanya sebanyak yang dia suka".

Setidaknya ada tiga jalur mengenai kisah ini:

Pertama, diriwayatkan oleh Abu Ya'la sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/468), ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami abu Haitsamah, telah menceritakan pada kami Ya'qub bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, berkata kepadaku Muhammad bin Abdurrahman, dari Mujalid bin Sa'id dan Asy Sya'bi dari Masruq ia berkata: (lalu menyebutkan kisah di atas).

Pada jalur ini terdapat kelemahan, yaitu Mujalid bin Sa'id, ia dilemahkan oleh Yahya bin Sa'id Al Qathan, Abdurrahman Mahdi, Ahmad, An Nasa'i, Ad Daruquthni, dan selainnya. Silakan merujuk pada At Tarikhul Kabir (8/9) dan Adh Dhu'afa wal Matrukin (3/35).

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (7/233) dengan membuang perawi Masruq antara Asy Sya'bi dan 'Umar, dan beliau berkata: munqathi' (terputus). Asy Sya'bi sendiri adalah Amir bin Syarahil, dilahirkan 6 tahun setelah kekhalifahan 'Umar bin Khaththab, sebagaimana tersebut dalam Tahdzibul Kamal (14/28). Riwayat ini mursal sebagaimana disebutkan oleh Abu Zur'ah dan didukung oleh Al 'Alai di Jamiut Tahshil (h.204) dan dijelaskan oleh Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (14/30) bahwa ia tidak mendengar dari 'Umar.

Kedua, riwayat 'Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (6/180):
Dari Qais bin Rabi', dari Abu Hashin, dari Abu 'Abdirrahman As Sulami, ia berkata: Umar berkata: "Jangan berlebih-lebihan dalam mahar untuk wanita". Lalu seorang wanita berkata: "Bukan seperti itu wahai 'Umar.. " sampai akhir hadits. 

Pada jalur ini juga terdapat kelemahan, yaitu terputusnya Abu Abdirrahman As Sulami dengan 'Umar ibnul Khaththab, ia tidak pernah mendengar dari 'Umar, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ma'in dan dikuatkan oleh Al 'Alai dalam Jamiut Tahshil (h. 208).

Kelemahan kedua terletak pada perawi Qais bin Rabi'. Berkata Yahya bin Ma'in tentangnya: "laisa bi syai (tidak ada apa-apanya)'", atau beliau berkata "dha'if", "tidak ditulis haditsnya". Imam Ahmad ditanya tentangnya, beliau berkata: "Dia tasyayu' (kecenderungan syi'ah), dan banyak salah dalam hadits.". Dan ia meriwayatkan hadits-hadits munkar. Ibnul Madini dan Waki' melemahkannya. Ad Daruquthni berkata, "dha'iful hadits". An Nasa-i berkata, "munkarul hadits". Silakan merujuk ke Mizanul I'tidal (5/477) dan Adh Dhu'afa wal Matrukin (3/19).

Ketiga, riwayat Az Zubair bin Bakkar, seperti yang disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/468), ia berkata:
Telah menceritakan padaku pamanku Mush'ab bin 'Abdullah, dari kakekku, ia berkata, 'Umar ibnul Khaththab, "Janganlah kalian melebihkan mahar bagi para wanita, meskipun perempuan itu anak dari Dzul Ghushshah, yakni Yazid ibnul Hushain Al Haritsi. Barang siapa melebihi, maka kelebihannya akan kumasukkan ke Baitul Mal". Maka seorang wanita berkata, "Tidak semestinya engkau berkata demikian.." sampai akhir hadits.

Pada sanadnya ada kelemahan di kakeknya 'Abdullah bin Mush'ab, yaitu Mush'ab bin Tsabit. Berkata Yahya bin Ma'in tentangnya, "dha'if", "laisa bi syai". Ahmad berkata, "Aku melihatnya "dha'iful hadits". Silakan merujuk ke Adh Dhu'afa oleh Al 'Uqaili (4/196) dan Al Majruhin oleh Ibnu Hibban (3/28) dan Adh Dhu'afa wal Matrukin oleh Ibnul Jauzi (3/122). Selain itu juga, antara Mush'ab bin Tsabit dan 'Umar inqitha' (terputus) sanadnya.

Jadi, dengan banyak kelemahan, baik dari sisi perawi maupun ketersambungan riwayat yang ada pada setiap jalur, maka tidaklah tenang hati untuk menaikkan derajat kisah ini. Adapun muhaddits kontemporer yang mendha'ifkan kisah ini di antaranya adalah Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil (6/348) dan Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini dalam Al Insyirah fi Adabin Nikah (h. 35) dengan ungkapan keras, "Hadits ini tidak shahih sampai unta masuk ke lubang jarum".

Wallahu a'lam.

Tasikmalaya, 8 Desember 2012.

mengambil faidah dari tulisan Syaikh Ihsan Al 'Utaibi

3 komentar:

  1. sy rasanya pernah baca di salah satu buku syaikh Al-Albani beliau berkata bahwa dengan banyaknya hadits dha'if bisa menaikan derajat suatu hadits (hingga hasan li ghairihi apa ya istilah nya?), tapi klo di sini nggak ya?

    BalasHapus
  2. Betul, memang itu pengertian dari hasan li ghairih.

    Namun perlu diperhatikan bahwa hadits dha'if itu ada bermacam-macam jenis dan tingkatan. Ada yang karena lemahnya hafalan perawi namun sanadnya bersambung, ada juga yang semua perawinya tsiqah tapi sanadnya tidak bersambung, dan berbagai macam jenis kelemahan lainnya yang dijelaskan di kitab musthalah hadits.

    Jika kelemahan model yang pertama tadi, dengan banyaknya jalur bisa naik menjadi hasan.. Namun jika banyak jalur tapi semuanya terputus di satu thabaqah (tingkatan) dan tidak ada yang bisa menyambungnya, maka tetap saja hadits tersebut terputus sanadnya, dan tidak bisa naik ke hasan.

    Contoh yang paling mudah adalah, misalnya ada 2 jalur, keduanya dengan urutan tabi'ut tabi'in kemudian langsung ke sahabat Nabi. Di kedua jalur tersebut tidak ada tabi'in. Maka dengan kata lain, pada kedua jalur tsb, tabi'ut tabi'in langsung meriwayatkan dari sahabat, padahal mereka tidak pernah bertemu. Harusnya seorang tabi'ut tabi'in bertemu tabi'in dulu, baru sahabat. Jadi, dua riwayat ini tidak bisa saling menolong karena putus di tingkatan yang sama..

    BalasHapus

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.