Selasa, 18 Juni 2013

Sistem Kerajaan dalam Islam

Pembahasan ini diambil dari kitab Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyyah, juz 35. Selamat menyimak.

Pelajaran dari Berakhirnya Khilafah dan Munculnya Kerajaan

Syaikhul Islam berkata (hal. 20) :
Telah kusebutkan di bagian lain bahwa jika kekuasaan jatuh ke tangan raja-raja dan para perangkat mereka sebagai hakim dan aparat pemerintahan, maka itu bukan saja karena ada yang salah dengan para pemimpin, tapi juga kekurangan yang ada pada rakyat yang mereka pimpin. Maka dari itu dikatakan: "Bagaimana keadaanmu, seperti itu pula pemimpinmu.". Dan sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا

"Dan demikianlah kami jadikan orang-orang zhalim itu pemimpin bagi sesamanya." (QS Al An'am 129).

Khilafah adalah Wajib

Syaikhul Islam berkata (hal. 22) :
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- telah bersabda:

 إن الله خيرني بين أن أكون عبدا رسولا وبين أن أكون نبيا ملكا فاخترت أن أكون عبدا رسولا

Sesungguhnya Allah telah memberiku pilihan, menjadi hamba dan rasul, atau aku menjadi nabi dan raja. Maka aku memilih menjadi hamba dan rasul. (HR Ath Thabrani).

Maka jika hal ini menjadi dasar penggabungan kekuasaan antara kepemimpinan, peradilan, dan kerajaan, apakah itu pada dasarnya dibolehkan, sementara khilafah itu hanya mustahab (dianjurkan)? Atau ia tidak dibolehkan kecuali jika terdapat keterbatasan ilmu dan kemampuan tanpanya? Maka kita berhujjah bahwasanya hal tersebut pada dasarnya tidak dibolehkan, karena yang wajib adalah khilafah nubuwwah, berdasarkan sabda Nabi:


عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي تمسكوا بها ؛ وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فكل بدعة ضلالة

"Wajib bagi kalian mengikuti sunnahku, dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku dan berpeganglah padanya. Gigitlah ia dengan gigi geraham, dan jauhilah perkara yang dibuat-buat, karena setiap bid'ah itu sesat."

yang mana perkataan beliau ini sesudah


 من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيرا

"Siapa saja di antara kalian yang hidup setelahku akan menemui banyak perselisihan." (HR Abu Dawud)

Ini merupakan perintah dan dorongan untuk mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin, perintah berpegang padanya dan peringataan terhadap perkara baru dalam agama yang menyelisihi sunnah mereka. Perintah dan larangan dari beliau ini adalah dalil bahwa ia wajib."


Dalil Bagi Mereka yang Membolehkan Kerajaan

Syaikhul Islam berkata (hal. 24) :
"... Dan juga, isyarat Nabi akan keburukan kerajaan setelah Khilafah Nubuwwah menunjukkan bahwa (diterapkannya) kerajaan merupakan bentuk meninggalkan sebagian kewajiban dalam agama. Sementara, pihak yang membolehkan kerajaan berdalil dengan nash-nash di antaranya perkataan Rasulullah kepada Mu'awiyah:

إن ملكت فأحسن

"Jika engkau menjadi raja, berbuat baiklah."

Dan dalil yang semisalnya, dan ini perlu ditinjau. Dan mereka juga berdalil dengan perbuatan 'Umar yang membiarkan Mu'awiyah yang berperilaku seperti raja ketika beliau berkunjung ke Syam, dimana ketika itu Mu'awiyah menjelaskan mashlahatnya. 'Umar berkata: "Aku tidak menyuruhmu dan tidak melarangmu". Akan tetapi itu bukan berarti 'Umar mengizinkannya, melainkan karena Mu'awiyah telah menjelaskan mashlahatnya, dan 'Umar tidak mantap dengan alasan tersebut, maka secara umum itu termasuk perkara ijtihad.


Pendapat yang Pertengahan dan yang Ekstrim Mengenai Sistem Kerajaan

Beliau melanjutkan (hal. 24) :
Kedua pendapat ini adalah pendapat pertengahan, yaitu bahwa dikatakan, khilafah adalah wajib, dan hanya boleh menyimpang darinya sebatas tuntutan kebutuhan. Atau dikatakan, boleh menerima kerajaan sebatas memudahkan pencapaian maksud dari kekuasaan dan tidak menyulitkannya, karena sesuatu yang menjauhkan tujuan tanpanya, harus dibolehkan. Adapun kerajaan secara mutlak,  maka mewajibkannya atau menganjurkannya merupakan perkara ijtihad.

Di sini ada dua pendapat ekstrim: Pertama, yang mewajibkan hal itu dalam setiap keadaan, waktu, dan untuk setiap orang dan mencela orang yang melenceng darinya secara mutlak atau karena kebutuhan sebagaimana pendapat ahli bid'ah dari golongan Khawarij, Mu'tazilah, dan sejumlah kelompok yang mengaku sebagai ahlus sunnah dan ahli zuhud. Kedua, membolehkan kerajaan secara mutlak tanpa mengikatkan diri pada sunnah para khulafa', sebagaimana dilakukan oleh orang-orang zhalim, orang-orang yang permisif, dan sebagian Murjiah. Ini adalah perincian yang baik, dan penjelasan secara mendetail akan hadir.


Kesimpulan

Beliau melanjutkan (hal. 25) :
Kesimpulan dari masalah ini dapat dikatakan, berpindahnya bentuk pemerintahan dari Khilafah Nubuwwah kepada kerajaan bisa karena ketidak-mampuan manusia untuk menegakkan Khilafah Nubuwwah, atau karena ijtihad yang dibolehkan, dan tidak adanya kemampuan dari segi ilmu dan amal, maka pemilik kerajaan dimaklumi dalam hal ini, walaupun Khilafah Nubuwwah sendiri adalah wajib jika ada kemampuan, sebagaimana kewajiban yang lain gugur dalam kondisi ketidak mampuan seperti keadaan An Najasyi ketika masuk Islam dan ia tidak mampu menunjukkan hal itu ke kaumnya, bahkan keadaan Nabi Yusuf yang jujur mirip dengan itu dari beberapa segi, dan kerajaan pun dibolehkan bagi sebagian nabi semisal Dawud, Sulaiman, dan Yusuf.

Jika ada kemampuan dari segi ilmu dan amal dan diasumsikan bahwa Khilafah Nubuwwah itu sekedar dianjurkan dan bukan wajib, dan memilih kerajaan adalah dibolehkan sebagaimana dibolehkan pada syariat sebelum kita, jika diasumsikan bahwa hal ini benar, maka tidak ada dosa pada raja yang adil. [selesai kutipan]


Dengan penjelasan di atas, nyatalah bagi kita bahwa masalah sistem kerajaan termasuk ranah ijtihad bagi yang menerapkannya, dan telah berlalu berbagai pendapat mengenai kebolehannya, dan yang merupakan pendapat pertengahan adalah: Islam mengakui sistem kerajaan sebagaimana para Nabi terdahulu juga ada yang menjadi raja sebuah kerajaan. Ia dibolehkan jika memang ada ketidakmampuan ilmu dan amal, dan hanya boleh sesuai kebutuhan. Meskipun demikian, dalam syariat kita, sistem khilafah tetap harus ditegakkan sebagaimana diwajibkan oleh Rasulullah melalui perintah beliau untuk mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin.


Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.