Sabtu, 28 September 2013

Beraninya Cuma di Tulisan?

Bukan hanya sekali saya temui, beberapa anggota sebuah harakah ketika ada fikrah/pemikiran organisasinya yang dikritik, mereka menyarankan untuk mengadakan diskusi langsung di dunia nyata saja daripada berbalas tulisan. Terlepas dari apapun tujuannya, saya pribadi tidak sepenuhnya sepakat. Ada beberapa alasan mengapa diskusi lewat tulisan lebih utama daripada diskusi tatap muka:

Pertama, debat secara langsung itu, selain membutuhkan ilmu di luar kepala, juga membutuhkan kepandaian berbicara. Sekalipun seseorang di atas kebenaran dan ilmu, namun jika ia kalah cakap dalam berdebat dengan lawannya, maka yang salah akan tampak benar, yang benar akan tampak salah.
Rasulullah bersabda:

 إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ, مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ 
"Sesungguhnya kalian selalu mengadukan perselisihan di antara kalian kepadaku. Bisa jadi salah seorang dari kalian lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya sesuai yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong api neraka untuknya." [HR Al Bukhari dan Muslim].

Kedua, diskusi lewat tulisan memberikan waktu lebih kepada pihak-pihak yang terkait untuk bisa lebih berpikir jernih sehingga terhindar dari blunder yang disebabkan oleh berbagai macam tekanan yang biasa terjadi pada diskusi tatap muka. Tekanan itu biasa dari grogi karena banyaknya jumlah hadirin, atau minder karena kurang jumlah pendukung, atau dari posisinya sendiri apakah di kandang sendiri atau kandang lawan, dan lain-lain.

Ketiga, diskusi lewat tulisan memungkinkan persiapan yang lebih matang dari segi penataan bahasa supaya lebih mudah dipahami dan tidak multi tafsir, serta penyertaan dalil-dalil yang digunakan menjadi lebih akurat karena ada waktu untuk mencarinya terlebih dahulu.

Keempat, diskusi di dunia maya memberikan waktu bagi pihak yang berada dalam posisi terdesak (kalah) untuk introspeksi dan mengakui kesalahan. Sebagaimana yang kita pahami bahwa sifat dari diskusi di dunia nyata adalah spontanitas. Artinya, apa yang terpikirkan saat itu, itulah yang keluar. Naluri alamiah seseorang jika terdesak maka ia akan terus membela dirinya, dan itu terjadi secara spontan, mendahului proses berpikir. Akibatnya diskusi hanya berkutat pada pembelaan diri masing-masing.

Kelima, dokumentasi diskusi lewat tulisan lebih mudah diakses oleh semua orang yang membutuhkannya. Bandingkan dengan proses diskusi di dunia nyata yang direkam dalam format audio atau video, tentu aksesnya tidak semudah dokumentasi tulisan. Kalaupun diskusinya ditranskrip, maka tidak akan sistematis sebagaimana diskusi lewat tulisan.

Demikian sebagian dari kelebihan-kelebihan diskusi lewat tulisan dibandingkan dengan debat di dunia nyata. Tidak berarti diskusi tatap muka selalu bernilai minus dibandingkan diskusi tulisan, hanya saja catatan kali ini tidak sedang membandingkan keduanya secara umum, namun sekedar memberikan 'bantahan' kecil pada mereka yang senantiasa menyerukan untuk diskusi langsung yang menurut mereka lebih efektif.

Semua hal di atas adalah pertimbangan yang didasari bahwa diskusi itu diniatkan untuk mencari kebenaran, sehingga poinnya bukan menang atau kalah, tapi terungkapnya kebenaran. Lain halnya jika ada yang berdalih:

"Kalau diskusi di dunia maya, orang terlihat alim namun kita tidak tahu kalau dia copy-paste saja, bahkan untuk menjawab butuh waktu lama dan membuka kitab-kitab."

Maka tidak diragukan lagi orang yang mengatakan ini tujuannya bukan untuk mencari kebenaran tapi untuk pintar-pintaran saja, dan saya yakin kita semua berdiskusi tidak untuk tujuan serendah itu.

Kita tentu tidak ingin ada orang yang telah kalah dan habis hujjahnya, lalu ia dengan sengaja mengusulkan diskusi tatap muka supaya bisa 'menang' dari sisi yang lain: kefasihan berbicara, jumlah dukungan, rasa inferior dari lawan diskusi karena ia di luar kandang, dan segala rekayasa lainnya. Pada hakikatnya, kemenangan yang didapat dengan cara curang seperti ini hanya akan menghasilkan kebenaran semu. Jadi, untuk pertanyaan yang ada di judul "Beraninya cuma di tulisan?", maka jawaban kami: Kebenaran terlalu mulia untuk disamakan apalagi digadaikan dengan adu kepintaran atau adu keberanian.

Wallahu a'lam.

NB: Sebagian ide tulisan ini saya ambil dari Ustadz Abul Jauzaa via FB beliau -hafizhahullah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.