(1) Mengecek setiap perawinya.
Ini mencakup dua hal yang berurutan: jati diri
perawi, kemudian kualitas perawi.
a. Jati diri perawi
Kadang ada beberapa perawi yang berbeda namun
namanya sama, bahkan nama bapaknya juga sama. Misalnya Anas bin Malik, nama ini
dimiliki oleh sepuluh orang. Ada pula yang sama sampai nama kakeknya, semisal
Ahmad bin Ja'far bin Hamdan.
Lantas bagaimana menentukan rawi mana yang
dimaksud dalam sebuah sanad, jika hanya disebutkan namanya saja? Inilah
pentingnya mengetahui biografi setiap perawi, yang di dalamnya terdapat tahun
kelahiran dan wafatnya, domisilinya, siapa saja gurunya, siapa saja muridnya,
siapa nama kunyah-nya (Abu Fulan, Abu Allan, dsb), apa laqab/gelar-nya (Al
Bukhari, As Sijistani, dll). Dari biografinya bisa kita ketahui rawi mana yang
dimaksud dalam sanad tersebut, yaitu perawi yang mempunyai hubungan guru-murid
atau yang memungkinkan untuk bertemu dalam sanad itu.
Setelah diketahui dengan pasti jati diri
perawinya, barulah kita bisa tahu kualitas perawinya berdasarkan penilaian para
imam jarh wa ta’dil. Karena dua perawi dengan nama yang sama, kualitasnya bisa
berkebalikan. Misalnya Sulaiman bin Dawud dinilai tsiqah (terpercaya), namun
perawi lain dengan nama yang sama, dinilai dha’if (lemah). Pembeda di antara
kedua orang dengan nama yang sama tersebut adalah laqab-nya, yang satu Al
Yamani, yang satu lagi Al Khaulani, dan yang terakhir ini yang tsiqah.
Secara umum, kualitas perawi ada dua kriteria,
yaitu dari segi hafalannya, dan segi keadilannya. Perawi yang buruk hafalan,
haditsnya lemah namun masih bisa dipakai sebagai penguat hadits lain, sedangkan
yang bermasalah dari segi keadilannya, maka haditsnya sangat lemah, dan ia
ditinggalkan, tidak bisa jadi penguat.
NOTE:
Kedua poin di atas (a dan b) merupakan langkah
yang tidak mungkin dibalik urutannya. Saya pernah mendapati seorang ustadz
sebuah harakah yang mencoba menshahihkan sebuah riwayat dengan cara terbalik,
yaknisearching dulu nama perawinya, tanpa melihat masa hidup perawi
tersebut, tanpa mencari tahu siapa saja guru dan murid perawi tersebut, yang
penting perawi tersebut kredibel (tsiqah). Apa yang terjadi, ternyata perawi
tsiqah itu bukan perawi dalam sanad tersebut, karena tidak terbukti punya
hubungan dengan perawi sebelumnya maupun setelahnya dalam sanad yang
bersangkutan. Ternyata ia adalah perawi yang lain, yang tidak diketahui
identitasnya (majhul). Tentu saja adanya perawi majhul menjadikan tidak
terpenuhinya syarat keshahihan hadits.
(2) Mengecek ketersambungan sanad.
Setelah mengetahui identitas dan kualitas
perawi, kemudian dilajutkan dengan mengecek ketersambungan rantai periwayatan.
Ini mencakup pembahasan mengenai sighat riwayat (cara/lafazh penyampaian
hadits), dan kemungkinan bertemu antara dua orang perawi yang disebut berurutan
dalam sanad, atau ada hubungan guru-murid.
Jika sighat riwayatnya jelas menunjukkan
penyimakan atau pertemuan langsung, maka secara umum dihukumi bersambung.
Misalnya lafazh “Aku mendengar Fulan”, dan “Fulan berkata”. Ada juga yang tidak
menunjukkan dengan jelas penyimakan atau pertemuan, misalnya lafazh “Dari
Fulan”, atau “Diriwayatkan dari Fulan”, kata-kata kerja pasif seperti ini punya
kemungkinan tidak bersambungnya sanad.
Lalu mengenai kemungkinan bertemunya perawi,
hal ini bisa dilihat dari biografinya. Jika wafatnya seorang perawi mendahului
kelahiran perawi berikutnya, maka dapat dipastikan sanadnya terputus. Namun
jika biografi menunjukkan bahwa mereka satu masa, dan atau pernah saling
meriwayatkan hadits, maka kemungkinan sanadnya bersambung. Dikatakan
“kemungkinan” karena tidak mutlak mesti bersambung, sebab masih dibatasi oleh
sighat riwayat tadi, semisal ia mengatakan dengan sighat “Dari Fulan”, maka
bisa saja ia tidak mendengar langsung dari Fulan, walaupun satu masa. Ada kemungkinan
ia melewati perawi lain yang kita tidak ketahui identitas dan kualitasnya.
Kadang ada pula perawi yang satu masa, namun mereka tidak pernah bertemu.
Bahkan ada yang pernah bertemu/melihat, tapi diketahui tidak meriwayatkan
hadits darinya, ini dalam ilmu hadits lazim disebut sebagai mursal khafi.
Dengan selesainya langkah (1) dan (2), maka
selesailah penilaian sebuah (satu) sanad hadits, apakah sanadnya
shahih atau lemah, atau palsu. Namun ini masih setengah pekerjaan, masih ada
pekerjaan lain yang harus dilakukan seorang muhaddits untuk menentukan derajat
sebuah hadits, bahkan langkah selanjutnya ini lebih sulit dan lebih memakan
tenaga dan ketelitian. Sebab, Shahih-nya suatu sanad hadits, belum tentu
menjadikan hadits itu shahih, dan begitu pula lemahnya sebuah sanad
hadits, belum tentu haditsnya lemah. Karena hadits itu bisa saja diriwayatkan
dari berbagai jalur/sanad. Antar sanad yang lemah bisa saling menguatkan, dan
antar sanad shahih bisa saling melemahkan. Oleh karena itu, seorang muhaddits
perlu untuk mengumpulkan sanad-sanad yang lain yang terkait hadits
tersebut, agar bisa melanjutkan ke poin ke (3) dan ke (4) berikut:
(3) Mengecek apakah hadits terbebas dari syadz,
yaitu kondisi dimana sebuah hadits yang
sanadnya shahih, bertentangan dengan hadits lain yang perawinya lebih unggul
dari sisi jumlah periwayatan, atau tingkat hafalannya. Maka hadits ini yang
bertentangan ini disebut dengan hadits syadz, yang tergolong hadits lemah,
walaupun sanadnya shahih. Adapun hadits lain yang sanadnya lebih unggul tadi
itulah yang shahih, dan disebut dengan mahfuzh.
(4) Mengecek apakah hadits terbebas dari
‘illat,
yaitu sifat-sifat yang samar dan tersembunyi
yang bisa merusak keshahihan hadits tersebut. Ini adalah bagian paling rumit
dan butuh ketelitian tinggi, karena secara zhahir (tampak mata), haditsnya
shahih. Baru setelah ‘illat yang tersembunyi itu ditemukan, ternyata ia tidak
shahih. ‘Illat ini ada bermacam-macam jenis, misalnya hadits bersambung yang
setelah diteliti dari jalur lain ternyata terputus, atau hadits yang sebenarnya
mauquf (berhenti sampai sahabat) disangka marfu’ (sampai kepada Rasulullah),
atau hadits yang sebenarnya telah dinasakh (dihapus) dengan hadits lain.
Dengan selesainya keempat langkah ini, maka
jika semuanya lulus, sebuah hadits baru bisa dikatakan shahih. Bukan hanya
shahih sanadnya, tapi sudah shahih haditsnya. Jika tidak terpenuhi satu atau
lebih syaratnya, maka hadits tersebut tidak shahih, dan tidak bisa menjadi
hujjah (dalil).
Suatu proses tashhih (pen-shahih-an) adalah
proses yang menghilangkan segala kemungkinan yang bisa melemahkan sebuah
hadits. Maka belum dikatakan shahih jika ia masih berupa kemungkinan. karena
jika dikatakan mungkin shahih, ia juga mengandung kemungkinan
dha’if. Kemungkinan dha’if inilah yang harus dieliminasi. Sebagai contoh adalah
riwayat yang terputus (munqathi’) dimana ada satu perawi yang tidak diketahui
identitasnya, dan perawi lain dalam sanad itu tsiqah semuanya. Mungkin saja
perawi yang hilang itu juga tsiqah sebagaimana yang lain, yang menjadikan
haditsnya mungkin shahih. Tapi juga mungkin juga
dha’if jika perawinya ternyata tidak tsiqah. Sehingga karena sifatnya masih ada
kemungkinan shahih sekaligus kemungkinan dha’if, kemudian hadits munqathi’
tergolong dalam hadits dha’if. Begitu pula dengan hadits dha’if yang lain
seperti hadits mudallas, mursal, dan sejenisnya.
Itu tadi sekedar gambaran umum saja, bagaimana
seorang muhaddits menilai suatu riwayat. Dimulai dari mengumpulkan
jalur-jalurnya, kemudian meneliti masing-masing jalur tersebut, lalu
membanding-bandingkannya sampai disimpulkan bahwa suatu hadits adalah shahih
ataupun dha’if, atau maudhu’ (palsu). Walaupun penjelasan ini terkesan rumit,
namun pada kenyataannya prosesnya jauh lebih rumit lagi karena sebenarnya apa
yang ditulis di atas adalah penyederhanaan saja. Maka dari itu, ilmu hadits
bukanlah ilmu yang main-main, karena membutuhkan keluasan ilmu di bidangnya,
kekuatan hafalan, dan ketelitian yang tinggi.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.