Sabtu, 19 Oktober 2013

Hasan tapi Dha’if

Barangkali demikianlah judul yang tepat untuk menggambarkan bahwa istilah "hasan" di kalangan ulama tidaklah selalu bermakna hadits maqbul yang derajatnya di bawah hadits shahih, sebagaimana definisi yang umum kita kenal dalam ilmu musthalah.

Orang yang pertama kali mengenalkan istilah tersebut, yaitu Imam At Tirmidzi, ternyata tidak memutlakkan istilah hasan sebagaimana pengertian di atas. Imam Ibnu Ash Shalah berkata:


وروينا عن أبي عيسى الترمذي رضي الله عنه أنه يريد بالحسن: أن لا يكون في إسناده من يتهم بالكذب، ولا يكون حديثأ شإذا، ويروى من غير وجه نحو ذلك.


"Diriwayatkan dari Abu 'Isa At Tirmidzi -radhiyallahu 'anhu- bahwa yang dimaksud dengan hasan adalah: Tidak terdapat dalam sanadnya orang yang tertuduh dusta, dan bukan termasuk hadits yang syadz (ganjil), dan diriwayatkan juga dari jalan lain yang semisalnya." (Muqaddimah Ibnu Ash Shalah fi 'Ulumil Hadits)

Dari sini dapat kita lihat bahwa, dengan sebatas persyaratan seperti di atas, sebuah hadits "hasan" masih memungkinkan untuk berderajat dha'if. Misalnya ketika At Tirmidzi mensyaratkan perawi hadits hasan bukan orang yang tertuduh dusta, maka itu artinya, perawi dengan kelemahan yang lebih ringan (misalnya hafalan buruk atau kealpaan perawi) masih masuk ke dalam definisi hasan menurut beliau.

Sebagai contoh, hadits mengenai kaifiyah takbir Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ketika itu beliau berkata "حديث أبي هريرة حسن" (hadits Abu Hurairah ini hasan), lalu setelah membandingkan dengan riwayat lain, beliau melanjutkan "وأخطأ يحيى بن اليمان في هذا الحديث" (dan Yahya ibnul Yaman telah melakukan kesalahan dalam hadits ini).


Kemudian, di antara bukti bahwa At Tirmidzi tidak memutlakkan definisi hasan untuk sanad yang maqbul (diterima), adalah adanya penjelasan tambahan dari beliau mengenai kelemahan sanad tersebut, tepat setelah beliau menyebut hadits tersebut "hasan", dengan keterangan semisal ليس إسناده بمتصل (sanadnya tidak bersambung), atau  ليس إسناده بذاك القائم (sanadnya tidak begitu lurus).


Misalnya pada hadits  الأذنان من الرأس (kedua telinga adalah bagian dari kepala), beliau menyatakan:


هذا حديث حسن ليس إسناده بذاك القائم


"Hadits ini hasan, namun sanadnya tidak begitu lurus."


Lalu mengenai doa masuk masjid yang diriwayatkan oleh Fathimah  binti Al Husain dari neneknya, Fathimah binti Rasulullah, Imam At Tirmidzi mengomentarinya:


حسن وليس إسناده بمتصل وفاطمة بنت الحسين لم تدرك فاطمة الكبرى 


"Hadits Hasan, namun sanadnya tidak bersambung karena Fathimah binti Al Husain tidak berjumpa dengan Fathimah Al Kubra."


Itu tadi beberapa contoh yang menunjukkan bahwa pada banyak kasus, penyebutan hasan oleh beliau mengandung implikasi kelemahan (dha'if). Meskipun demikian, istilah hasan juga dipakai beliau untuk hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, misalnya hadits mengenai sebaik-baik shalat adalah di rumah kecuali shalat fardhu. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan, sebagian jalurnya mauquf (berhenti sampai sahabat), sebagian lagi marfu' (sampai kepada Rasulullah), dan yang lebih shahih adalah yang marfu'.


Adapun istilah hasan gharib, maka umumnya mengisyaratkan matan hadits tersebut selamat dari syadz dan nakarah (pertentangan), namun terdapat sesuatu pada sanadnya berupa nakarah dan gharabah (keasingan) yang bisa menyebabkan kelemahan padanya dan menjadikan hadits itu tertolak. Dan yang dikatakan At Tirmidzi sebagai hasan gharib, secara umum derajatnya cenderung lebih lemah daripada yang beliau katakan sebagai hasan (saja).


Misalnya pada hadits panjang yang diriwayatkan dari 'Ali bin Abi Thalib mengenai sifat Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam-, beliau berkata:


حسن غريب ليس إسناده بمتصل


"Hadits hasan gharib, dan sanadnya tidak bersambung."


Demikian ringkasan mengenai istilah "Hasan" menurut At Tirmidzi. Semoga memperluas wawasan kita mengenai beragamnya definisi para ulama untuk satu istilah yang sama. Sehingga kita tidak tertipu dengan argumen orang yang mengatakan "hadits ini dihasankan oleh At Tirmidzi", padahal ia sendiri tidak paham maksud At Tirmidzi di balik istilah "Hasan" tersebut. Wallahu a'lam.


Duri, 14 Dzulhijjah 1434 H

mengambil faidah dari penjelasan Syaikh 'Abdul 'Aziz Ath Tharifi -hafizhahullah-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bahasa yang sopan dan berkaitan dengan isi tulisan. Hindari berkata tanpa ilmu dan bertanya yang tidak berfaidah.