Rabu, 01 Maret 2017

Teknis Mengingkari Penguasa

Mengingkari penguasa terang-terangan, bagaimana teknisnya? Yang jelas bukan berbicara di belakangnya semisal di media sosial, sebagaimana telah kami sampaikan perkataan Syaikh Ibnu 'Utsaimin di postingan yang telah lalu. Beliau juga katakan:

ومعلوم أن الإنسان لو وقف يتكلم في شخص من الناس وليس من ولاة الأمور وذكره في غيبته، فسوف يقال: هذه غيبة، إذا كان فيك خير فصارحه وقابله

"Sebagaimana maklum bahwa andaikan seseorang berbicara tentang kesalahan orang tertentu di belakangnya, dan ia bukan pemerintah, tentu akan dikatakan, "Ini adalah ghibah". Maka jika pada dirimu terdapat kebaikan yang ingin disampaikan, terus teranglah kepadanya dan menghadaplah langsung padanya."

Nahi munkar kepada penguasa adalah fardhu kifayah, akan tetapi, bagaimanakah jika rakyat terutama warga di media sosial menggebu-gebu ingin sekali berperan dalam menasehati penguasa? Jawabannya adalah dengan mengingkari kemungkaran itu tanpa menyebut-nyebut bahwa penguasa yang melakukannya.

Syaikh 'Utsaimin menyampaikan:
"Kami tidaklah mengatakan untuk jangan mengingkari kemungkaran.. Akan tetapi kami katakan, janganlah menyerang pemerintah. Karena hal ini tiada manfaat. Mereka tidak akan dapat manfaat dengan serangan semisal itu. Karena setan bisa saja memasukkan ke dalam pikiran mereka, hal-hal yang terpikir atau tidak terpikir dalam benakmu. Karena sebagian sebagian orang yang mengingkari kemungkaran -Wallahu a'lam atas niat mereka-, bermaksud untuk mengambil alih kekuasaan. Kami tidak tahu-menahu, Wallahu a'lam, kami berlepas diri dari yang semisal ini.

Akan tetapi, ingkarilah kemungkaran. Misal: Bank itu haram. Apakah termasuk tindakan bijak jika menyerang penguasa dengan mengatakan: "Kenapa pemerintah membiarkan bank-bank itu padahal haram?"

Ataukah yang bijak itu semisal: "Wahai manusia, berhati-hatilah dengan bank, jangan bermuamalah dengannya, boikotlah bank..".

Mana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat? Tentu cara yang kedua yang lebih bermanfaat.
Atau misalnya, keberadaan musik baik di radio atau di selainnya. Apakah termasuk cara hikmah jika menyerang Menteri penyiaran dengan perkataan semisal: "Engkau lakukan ini, atau tinggalkan, atau yang semisalnya?"

Ataukah cara yang hikmah itu, Anda katakan: "Wahai manusia hati-hatilah dengan alat musik karena sesungguhnya itu haram. Jangan terpedaya karena banyak manusia yang melanggarnya dan mendengarkannya, atau karena radio banyak menyiarkannya.. Karena ini mengkonsekuensikan dihalalkannya apa yang Allah haramkan. Dan mengingatkan mereka serta menjelaskan dalil-dalil yang melarang. Mana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat? Tak diragukan lagi bahwa yang terakhir inilah yang bermanfaat.

Dan aku tidak mengatakan dalam hal ini untuk diam. Nasehati mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika petunjuk itu sampai, maka itu untuk semuanya. Jika tidak sampai, maka engkau telah selamat dan terbebas dari beban. Dan siapa yang menuduh bahwa dengan ini kami menginginkan terbiarkannya kemungkaran dan diam darinya, maka ini tidak benar."

[Penjelasan beliau atas Kitab Ash shiyam dari Kitab Al Kafi, kaset kedua, side B]

Mengurangi 'Piknik'

Haruskah memperbanyak piknik lintas manhaj agar tidak dibilang kurang piknik? Di antara nasehat Sufyan Ats Tsauri kepada 'Abbad Al Khawwash:

وعليك بالأمر الأول والتمسك به وعليك بالخمول فإن هذا زمان خمول وعليك بالعزلة وقلة مخالطة الناس..  فإذا كان الناس إذا التقوا ينفع بعضهم ببعض.. فأما اليوم فقد ذهب ذاك، والنجاة في تركهم فيما نرى

"Hendaklah engkau berpegang teguh pada perkara yang paling awal (Al Quran dan Sunnah), dan merahasiakan diri, karena sekarang zamannya merahasiakan diri. Hendaklah engkau mengisolasi diri dan tidak banyak bergaul dengan manusia.

Sebelum ini, jika manusia bertemu, maka sebagian dari mereka mendapatkan manfaat satu sama lain. Sedangkan zaman kita sekarang, itu semua tidak ada lagi. Maka menurut pendapatku jalan keselamatan adalah dengan tidak bergaul dengan mereka."

Talafi

Syaikh Al 'Utsaimin pernah ditanya, apa hukumnya menamai manhaj salafi dengan manhaj talafi?
Beliau menjawab:

حكمه أنه هو التالف، وأنت لا تستغرب يا أخي، لا تستغرب أن يلقب أهل الخير بألقاب السوء! ألم تعلم أن الأنبياء وصفوا بأنهم سحرة! ومجانين؟ قل نعم أم لا؟ الصواب بلى.

Hukumnya adalah, bahwa dia itu rusak. Jangan merasa aneh ya akhi. Jangan heran kalau orang-orang yang baik dilabeli dengan sebutan-sebutan buruk. Apakah engkau tidak ingat para Nabi disebut sebagai tukang sihir? Dan juga disebut orang gila? Ya ndak? Ya.

https://www.youtube.com/watch?v=zLZZWAM6r1g

Khawarij ke Para Da'i, Murjiah ke Penguasa?

Syaikh Al Albani pernah dimintai komentarnya mengenai para da'i penyelisih yang menggelari salafi dengan sebutan: "Murjiah terhadap penguasa, Khawarij terhadap para da'i, Qadariyah terhadap Yahudi, dan Rafidhah terhadap jama'ah-jama'ah yang ada"

Beliau menjawab:

ما أستطيع أن أعلق على هذا التقسيم الرباعي لأنه تقسيم محدث مبتدع وداخل فيما أشرت إليه آنفًا بأنه تلاعب بالألفاظ

"Aku tidak bisa berkomentar apa-apa tentang kategorisasi yang empat ini, karena ia adalah pembagian yang mengada-ada, dibuat-buat, dan termasuk dalam yang aku sebutkan sebelumnya bahwa ia termasuk bermain-main dengan kata.."

Dan selanjutnya beliau membantah masing-masing tuduhan tersebut, yang lengkapnya ada di sini: http://www.alalbany.me/play.php?catsmktba=17330

Syaikh Ibnu 'Utsaimin juga pernah ditanyakan hal yang sama, dan beliau menjawab sebagaimana yang ada di sini: https://www.youtube.com/watch?v=XBLNQTVmZEU

Intinya itu tuduhan yang sudah usang kepada para ulama kita dari orang-orang pergerakan.
Grup mereka bisa saling membela satu sama lain tanpa ada nahi munkar di antara mereka pada perkara yang menyelisihi sunnah, tak lain karena itulah musibah yang menimpa sebagian kaum murji'ah, dimana mereka saling mengakui perbedaan aqidah di antara para ahli bid'ah dan menganggapnya hanya ijtihadiyah, sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa 12/467.

Biarkan Ulama Berbicara

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan:
"Muncul orang-orang takfiri di masa sekarang.. yang mana mereka membaca kitab-kitab lalu memahaminya tidak sesuai dengan maksud penulisnya, menerapkannya tidak pada tempat yang semestinya, menerapkan hukum-hukum tidak pada tempatnya.

Ini madzhab Khawarij. Mereka memisahkan diri dari ulama, lalu menjadikan diri mereka sendiri sebagai ulama..."

Selengkapnya:
https://www.youtube.com/watch?v=d_bKy5Vh1jU

Terutama soal manhaj dan aqidah, tanya pada ulama dan jangan mengandalkan telaah kitab secara mandiri. Apalagi dijadikan ajang perdebatan.

Seputar Negeri Islam

Berikut perkataan beberapa ulama kontemporer:
1. Syaikh Al Albani mengatakan:
"...Bukanlah syarat dari sebuah negeri Islam, bahwa pemimpinnya berhukum dengan hukum Islam. Kadang suatu negeri dikuasai sebagaimana terjadi di masa lampau, seperti di negeri Palestina, atau negeri lain semisal Suriah, atau Yordania dan selainnya yang dulu dijajah oleh Inggris atau Perancis, akan tetapi tidaklah negeri itu keluar dari cakupan negeri Islam, walaupun penguasanya kafir penjajah."
[Fatawa Jeddah, no 21, menit ke 63:28]
https://www.youtube.com/watch?v=R6BJqAMbyVo

Beliau juga mengatakan:
"...Setiap daerah yang didominasi oleh kaum muslimin walaupun pemerintahnya tidak berhukum dengan hukum Allah -baik seluruhnya atau sebagian saja-, maka hal itu tidaklah membahayakan dan mengeluarkan rakyatnya dari kategori masyarakat muslim ...
... Maka kami tidak menjadikan masyarakat muslim di situ menjadi bukan negeri Islam disebabkan karena hukum yang dipakai penguasanya bukan hukum Allah..."
[Silsilatul Huda wan Nuur 467]
http://alalbany.net/play.php?catsmktba=13882

2. Syaikh Ibnu 'Utsaimin:
"Jika suatu negeri terdapat syiar-syiar Islam lahiriyah semisal adzan, shalat berjamaah, shalat jumat, puasa, dan hari raya 'ied dan semua syi'ar Islam lahiriyah lainnya, akan tetapi pemerintahnya berhukum dengan undang-undang buatan bahkan secara sengaja, apakah kita katakan ini negeri Islam atau negeri kafir? Kita katakan, ini negeri Islam...
...Maka Darul Islam definisinya adalah ketika tampak di dalamnya syi'ar-syi'ar Islam dan penduduknya adalah kaum muslimin, tanpa memandang pemerintahnya. Pemerintahnya seperti apa, itu urusan mereka."
[Ta'liq Syaikh Ibnu 'Utsaimin atas kitab Al Kafi karya Ibnu Qudamah 5/297]
http://shamela.ws/browse.php/book-96875/page-2297

3. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
"Jika negeri itu dominan di dalamnya nama Islam, shalat, dan selainnya di antara syi'ar-syi'ar Islam, maka namanya negeri Islam walaupun penguasanya kafir.”

https://archive.org/details/bin-baz-darulislam

Dalam Raddul Mukhtar oleh Ibnu Abidin dikatakan:

ودار الحرب تصير دار الإسلام بإجراء أحكام أهل الإسلام فيها ) كجمعة وعيد

"Dan darul harb berubah menjadi darul Islam dengan berlakunya hukum-hukum orang Islam padanya seperti shalat Jum’at dan ‘Ied.."

Jadi, jangan mudah percaya dengan yang menukil kesepakatan ulama bahwa patokan negeri Islam adalah berdasarkan penguasanya dan hukum yang dipakai.
Telah masyhur dari Imam Ahmad:

من ادعى الإجماع فهو كاذب

"Siapa mengklaim adanya kesepakatan, maka ia telah berdusta"

Sebab penukilan ijma' itu bukan perkara mudah bahkan untuk ulama mujtahid sekalipun, apalagi untuk penuntut ilmu.

Akhirul kalam, Syaikh Shalih Alusy Syaikh menasehatkan:

فهذه الأحكام دقيقة، ودائما أوصي الشباب بأن لا يخوضوا فيها؛

"Persoalan seputar hukum darul Islam dan darul kafir ini sesuatu yang rumit, aku senantiasa menasehati para pemuda untuk tidak menceburkan diri di dalamnya."

Aqidah Ahlus Sunnah: Mendoakan Penguasa

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh mengatakan:
Mendoakan kebaikan kepada pemimpin tidak ada pada masa Khulafaur Rasyidin. Ia hanya tampak pada akhir era sahabat dan era tabi'in, lalu kemudian menjadi kebiasaan sampai hari ini.

Sebabnya adalah ketika munculnya Khawarij. Mereka beragama dengan cara memurkai penguasa kaum muslimin, membenci dan memberontak mereka. Ahlus Sunnah kemudian menyelisihi mereka dengan mendoakan kebaikan kepada pemimpin secara terang-terangan di atas mimbar. Sebagaimana Ahlus Sunnah menyelisihi Syi'ah Rafidhah dengan cara mendoakan keridhaan Allah untuk istri-istri Nabi dan keluarga beliau di atas mimbar.

Ketika tampak kebid'ahan, maka penyelisihan di atas menjadi sunnah di masa lalu. Maka dari itu, para ulama menyebutkan bahwa di antara sunnah khutbah Jumat adalah mendoakan pemimpin. Ia adalah sunnah sejak masa lampau.

Dan di antara ciri Ahlus Sunnah adalah mendoakan kebaikan untuk pemimpin, sedangkan ciri Ahlul Bid'ah adalah mendoakan kejelekan bagi pemimpin, sebagaimana diterangkan oleh Imam Al Barbahari dan selain beliau di kitab-kitab Sunnah.*

Akan tetapi, doa itu berbeda dengan pujian.Pujian tidak diperkenankan, karena dari pujian itu diinginkan keuntungan duniawi.

Adapun doa, maka diharapkan darinya kebaikan agama dan dunia serta akhirat. Motifnya adalah perintah, syariat Allah. Sedangkan pujian, maka tujuannya berbeda. Maka dari itu ulama mendoakan kebaikan untuk mereka, namun tidak memujinya dengan pujian mutlak.

Sebagian ulama memuji secara khusus karena tampaknya faidah nyata dari amalan pemimpin. Akan tetapi ini pengecualian saja, bukan kaidah yang baku. Yaitu, memuji untuk memotivasinya dalam kebaikan, dan mendorongnya serta menyemangatinya.

Pujian bukan sesuatu yang dicontohkan salafush shalih. Yang dicontohkan adalah doa kebaikan. Karena yang diharapkan dari doa adalah kebaikan agamanya. Apabila baik agama pemimpin, maka banyak hal akan ikut baik.

Diterjemahkan dari:
https://www.youtube.com/watch?v=gATmHqLOQyo
Mulai Menit 1:14:12